Pita-pita berwarna merah, biru, hijau dan ungu dilemparkan dari geladak kapal, dari tangan satu ke tangan lain, seperti jaring laba-laba yang melilit, memberi kesan mendalam para penumpang. Siang hari tanggal 25 April tahun keempat dari Showa (1929), kapal Haruna-Maru[1] perlahan-lahan meninggalkan dermaga Kobe dengan gema teriakan yang panjang. Saat uap kapal mengepul dan air mata menetes dan sampai pada air mata terakhir, mereka yang berangkat dan yang ditinggalkan merasa seperti telah memotong tali persaudaraan. Aku melihat pemandangan yang mengharukan dari orang-orang itu sama seperti ketika aku mengucapkan selamat jalan kepada teman-teman di kota asalku. Walaupun demikian, aku tetap tidak dapat menyembunyikan perasaan sedihku.
Laut pedalaman Seto[2] saat itu terlihat tenang saat sebuah kapal uap raksasa berbobot 10.000 ton berlayar seperti meluncur diantara pulau-pulau yang tersebar. Di atas kapal Haruna-Maru kelompok kami yang beranggotakan 23 orang, dipimpin oleh Dr..Takeo Kato[3], yang juga mengambil bagian dalam Kongres Ilmu Pengetahuan Pasifik yang keempat di pulau Djawa. Orang-orang yang juga mengatur jalannya Kongres adalah Dr..Vaughan[4], Dr. Coville[5], Dr. Harvey[6] dan banyak lagi yang berasal dari Amerika. Diantara para tamu di kapal itu, ikut pula perwakilan dari negara Portugal dan Ibu Costa Cornellio yang bepergian untuk berlibur, Marquis Kido yang berangkat untuk mempelajari museum industri sekaligus untuk menghadiri konferensi perdagangan internasional, Baron Kawasaki bepergian untuk melihat kesenian Eropa, dan Nona Usami yang pergi untuk mendapatkan pelajaran mengenai bayi. Kemudian, para penumpang membentuk keluarga besar yang terdiri dari lebih seratus orang. Hubungan mereka agak sedikit resmi, namun mereka berkenalan satu sama lain. Diantara mereka, keluargaku merupakan kelompok terbesar, yang terdiri dari Yoneko, isteriku, Gorota, putra pertamaku, Dr..Hattori[7] dan Tuan Emoto, B. Sc dari laboratorium biologi milikku, Pak Gomi, mandorku, Nona Morimoto, perawatku, dan aku sendiri.
Para penumpang kapal Haruna-Maru
(diambil dari album pribadi penulis).
Di Moji, Tuan Iso dari Tobata Factory of Meiji Sugar Co. menyambut kedatangan kami atas perintah Tuan Soma, pimpinan perusahaan tersebut. Setelah berkeliling di sekitar pelabuhan untuk melihat kapal-kapal luncur, kemudian kami dipandu menuju Shunhoro di Shimonoseki. Di Tempat ini pernah terjadi pertemuan antara Lee Hong Chang, dari Dinasti Qing dan Baron Ito pada tahun ke-28 dari Zaman Meiji untuk menandatangani Surat Perjanjian Perdamaian[8]. Konon, pada waktu itu tanggal 17 April, ruang tamu ditata dengan rapi, mulai dari meja dan kursi, rokok dan korek api disediakan, layaknya seperti akan merayakan hari ulang tahun.
Ada kapal lain melintasi kapal kami di Pelabuhan Moji yaitu kapal Surabaya-Maru[9]. Di atas kapal itu terdapat peserta kongres yaitu Dr. Shinkishi Hatai[10] dan sekitar lima belas anggota lainnya. Dua kapal berangkat pada waktu yang sama tetapi rute kami melalui Shanghai dan Hongkong, sedangkan yang lain melalui Taiwan. Ketika aku sendirian di sebuah bar, Viscount Hoshina[11] tiba-tiba muncul dengan memanjat lorong. Ia berkata, “Aku di Surabaya- Maru. Kirim salam buat Kido dan Kuroda[12]. Sampai berjumpa lagi di pulau Djawa!” kemudian iapun pergi dan menghilang begitu saja. Aku merasa aku agak tidak sabar dan ternyata ia jauh lebih tidak sabar.
Ketika kapal berlayar menjauh dari Moji, para penumpang saling berkenalan satu sama lain atau bertemu kawan di geladak kapal dan pintu masuk.
Laut Genkai[13] sering diberitakan sebagai laut yang ganas, kali ini tidak seperti biasanya laut tampak tenang. Karena itulah mereka yang telah mengantisipasi bila mabuk laut dan telah membawa banyak obat terlihat bingung akan keadaan ini. Walaupun tujuan semua orang adalah mengunjungi pulau Djawa, banyak anggota kami dari berbagai universitas dan laboratorium yang berbeda berjumpa satu sama lain untuk pertama kali. Maka, kami memutuskan membuat pesta minum teh untuk saling berkenalan saat kapal berada di tengah laut Genkai. Acara tersebut juga diikuti oleh orang yang belum kami kenal untuk memperkenalkan diri dengan bidang penelitian mereka. Ahli geologi adalah jumlah yang paling banyak dan kemudian ahli biologi. Dapat dibayangkan akan sangat resmi jika para ilmuwan berkumpul bersama-sama. Kenyataannya, orang-orang itu, memiliki penelitian masing-masing, tidak memperdulikan yang lain. Walaupun demikian, suasana di kapal menjadi tenang dan bersahabat. Tak dapat diragukan, para ilmuwan itu cenderung berpikir ilmiah terhadap apa saja. Mereka berpikir tentang kepadatan udara dan indeks-refraksi cahaya ketika melihat awan putih di langit biru dan ombak yang indah di sore hari, memikirkan hubungan antara kecuraman kapal dan alur bola ketika bermain di geladak termasuk mencoba mengingat nama-nama golongan dari jenis-jenis bunga sampai akhirnya menghargai kecantikan beratus-ratus bunga.
Shanghai - ditulis di atas kapal Haruna-Maru
Pada tanggal 29 April, kapal kami tiba di Shanghai sebelum fajar tiba. Aku naik ke geladak dan mengamati sebuah kapal di tengah sungai Huangpu yang penuh dengan air berlumpur. Di puncak tiang kapal terdapat bendera Matahari Terbit (Rising-Sun) dan seluruh badan kapal tertutup oleh kain bendera. Pada waktu itu kami tiba tepat pada saat diadakannya festival hari Tenchosetu[14] di pelabuhan asing untuk pertama kalinya. Tuan Enami dari Meiji Sugar Co., turut hadir untuk menyambut kami.
Walaupun sungai Huangpu merupakan sebuah sungai kecil namun lebih luas dibanding sungai Sumida[15], pada waktu yang bersamaan dapat menampung sejumlah kapal militer dan kapal dagang dari berbagai negara. Banyak kapal datang dan pergi, dan berlayar di sana-sini menandai kemakmuran pelabuhan itu. Kapal kami berlayar menuju hulu melintasi banyak kapal. Battleships adalah kapal perang dan kapal dagang yang tidak hanya berasal dari Jepang tetapi juga dari negara-negara lain. Kapal itu dipenuhi dekorasi dan dibuat oleh negeri Matahari Terbit (Rising-Sun). Aku merasa bahagia melihat mereka di pelabuhan asing ini, tepat di hari Kelahiran Kaisar.
Shanghai adalah sebuah kota yang hiruk pikuk di siang hari bagai “bahu bengkak dan pedati hancur membentur tiang”, dan di sepanjang malam bagai “pakaian harum dan gemerlapnya perhiasan”. Putraku berada di daratan asing itu untuk pertama kalinya dan ia terkagum di antara kerumunan orang-orang. Ia merasa sedikit takut, melihat kapten, pelaut, pengendara rickshaw (sejenis becak yang ditarik oleh orang dari depan) dan pengemudi mobil semuanya orang Cina, dan itu yang akan dirasakan ketika merantau untuk pertama kali. Baginya semua terlihat begitu menyenangkan dan ia sangat tertarik oleh bis dengan trem listrik. Itu adalah suatu perpaduan antara trem dan mobil yang berlari di sepanjang jalan raya dalam jarak tertentu dengan kawat listrik sebagai sumbernya. Trem listrik sangat cocok untuk jalan yang sempit dan tidak memerlukan rel lagi. Itu akan membantu sekali jika mereka dapat memperkenalkannya di Tokyo, di mana saluran untuk rel selalu digali setiap tahunnya dan mengganggu lalu lintas. Paling tidak, bis listrik tidak menghasilkan suara gaduh.
Jalanan ramai dengan orang-orang dan aku heran dimana mereka tinggal. Darimana rickshaw, kereta kuda dan mobil berdatangan. Kami berjalan perlahan dan hati-hati diantara asap kendaraan dan kesibukan.
Beberapa polisi India, mengenakan kain putih yang diikat di kepala dan orang-orang Vietnam mengenakan kira-kira seperti topi berbentuk kerucut mirip seperti rok wanita. Mereka dengan mahirnya mengatur lalu lintas, sambil memegang tongkat pendek berwarna hitam dan putih. Selain kemahiran yang baik, menurut mereka angka kecelakaan lalu lintas relatif rendah tergantung kondisi sekarang yaitu yang kuat selalu menang. Orang-orang yang mengendarai rickshaw lebih kaya dari mereka yang berjalan kaki, mereka yang berkereta kuda lebih kaya dari mereka yang mengendarai rickshaw, dan mereka yang mengendarai mobil bahkan lebih kaya; selalu saja yang lebih kaya adalah lebih kuat, dan yang miskin harus mengalah. Kenyataannya, tidak boleh ada pejalan kaki ataupun rickshaw berjalan mendahului pengendara mobil. Apakah benar atau tidak, pejalan kaki akan digugat, jika tertabrak dan mati di jalan, karena dianggap menghalangi jalan atau karena kecerobohan mereka. Oleh karena itu, tidak ada banyak kecelakaan lalu lintas sebab orang-orang berjalan di jalan raya selalu mencemaskan dan akan melindungi diri mereka.
Kami pergi melihat ke bagian dalam sebuah benteng kota tua. Walaupun dindingnya telah dibongkar sekali dan daerahnya sudah berdampingan dengan daerah kota baru, itu merupakan kota Cina yang sangat bersih. Jalan di sekitar benteng sangatlah sempit dan sibuk penuh dengan kios-kios kecil dengan papan reklame bertuliskan “coretan emas dan perak merek dagang terkenal” berjejer rapi seperti gigi sebuah sisir.
Ada sebuah poster besar di pintu masuk benteng tersebut. Poster itu menggambarkan peristiwa yang seram yaitu orang telanjang dan bahunya telah terpotong, itu merupakan legenda yang pernah terjadi disana. Ini merupakan aksi propaganda anti-Jepang[16]. Ketika kami berjalan sedikit lebih jauh, ada sebuah peta besar berjudul “Peta Negara yang Memalukan” (Map of the Country’s Shame) terpampang di dinding atas pada bagian-bagian wilayah Cina dahulu. Wilayah yang sekarang diduduki oleh negara asing dicat berwarna merah. Karena nasionalis Cina, kebencian mereka bersifat tak terhingga, sebab rasa malu itu telah direnggut sedikit-demi sedikit secara brutal sampai negeri menjadi lemah yang bukan disebabkan oleh perang. Banyak orang-orang berjalan di jalan nampak acuh tak acuh, namun mereka tidak mengganggu kami.
Di wilayah benteng yang sempit, ada beragam toko yang menjual apa saja mulai dari mainan sampai barang antik, mulai untuk anak-anak maupun untuk dewasa. Dengan kata lain, apapun tersedia di sini. Di antara kios di sana, ada yang menjual makanan khas dan kebanyakan jenis gorengan dengan menempatkan penggorengan besar di bagian depan, memasak sesuatu seperti mie dan mengukus mantou[17] sangat terlihat menyenangkan.
Kuil Kuan-Yin berada di pusat kota. Mulai dari patung singa penjaga sampai dengan tungku untuk menyalakan dupa, hampir sama seperti di Jepang. Di sekitar kuil, banyak orang menjual sepatu kuda terbuat dari kertas timah ditempelkan pada kawat. Mereka berkata, bila orang-orang membeli dan mendermakan potongan sepatu kuda maka harapan mereka akan terkabul. Itu sama saja seperti meminta dan berdoa kepada Tuhan untuk menjadikannya kaya raya, atau mendapatkan sesuatu tidak dengan mencuri dan seterusnya. Bagaimanapun juga mereka tetap percaya bahwa Tuhan mengetahui segalanya. Keinginan untuk menjadi kaya dengan cara menipu Tuhan adalah tindakan tidak bermoral tetapi mereka yakin satu hal bahwa Tuhan tidak akan marah tetapi itu cukup membuat geli.
Di depan kuil, duduk seorang peramal dengan tongkatnya[18], ahli gigi yang memamerkan koleksi giginya, pengemis, dan masih banyak lagi. Di antara keramaian, aku melihat seorang laki-laki membawa seekor burung di dalam sangkar. Aku pernah mendengar bahwa orang di Cina membawa burung-burung yang indah ketika mereka mengunjungi seseorang, sama seperti di Eropa membawa anjing untuk diajak berjalan-jalan. Dari penampilannya, orang itu tidak tampak seperti orang yang memiliki burung untuk tujuan menghibur, ia lebih pantas sebagai pedagang burung. Apa mudah berjualan disana!
Aku merasa sedikit lelah dan kembali ke kapal sebelum orang-orang kembali. Pada acara makan malam, makanan disajikan khusus untuk merayakan Hari Ulang Tahun Kaisar. Dengan dipimpin Kapten, Kami bersulang untuk merayakan pemerintahan Kaisar dengan menu beras merah dan hidangan pesta lainnya.
Berangkat dari Shanghai - ditulis di atas kapal Haruna- Maru
Pada pukul setengah tiga tanggal 30, kapal Haruna-Maru telah berada di tengah sungai Huangpu, melepaskan talinya dan menyelam ke dalam sungai yang berlumpur. Di kedua sisi sungai, tampak daun-daun muda pohon willow, berwarna hijau terang, disegarkan oleh hujan gerimis yang pada jarak dekat bisa disentuh. Sepertinya musim semi telah terjadi di sungai Yangtze[19]. Pada dataran yang luas, banyak ditumbuhi rumput air liar dan rumah petani berdinding tanah liat. Pemandangan terlihat agak membosankan bagi mata pengunjung, mengingatkan akan kehidupan orang jaman dahulu.
Banyak perahu tradisional melewati kedua sisi kapal kami. Di kedua sisi badan perahu banyak sekali lukisan mata besar yang menurut mereka, lukisan itu bukan hanya berfungsi sebagai hiasan tetapi juga untuk menarik perhatian monster laut. Kebanyakan kain layarnya berlubang, bahkan ada yang rusak berat dan hanya tersisa sedikit kain kanvas saja seperti pakaian tergantung pada tiang layar. “Hey, lihat itu perahu pengemis”, seseorang berkata. Pada saat itu, aku seperti sedang melihat mentalitas orang-orang Cina yang apa adanya.
Kapal memasuki aliran utama sungai Yangtze yang terlihat seperti laut dan dikelilingi oleh ombak keruh. Sejak matahari tenggelam, sungai telah tertutup oleh kabut sehingga tidak dapat melihat apapun. Kapal berlayar dengan hati-hati sambil terus menerus meniupkan peluitnya. Ketika terdengar sebuah suara peluit, mesin kapal dihentikan untuk mencari sumber teriakan tersebut. Adakalanya, kapal memutar dengan cepat untuk menghindari benturan bila ada perahu tradisional tiba-tiba muncul di depan. Dengan cara ini, kapten harus lebih saksama dibandingkan bila berada di samudra yang berangin kencang.
Dari hari ke hari, kabut menjadi sangat tipis atau agak terang. Perjalanan menjadi sedikit tertunda dan sekitar pukul sembilan hari keempat dari keberangkatan, kapal tiba di Pelabuhan Hong Kong. Kota Hong Kong yang tadinya bersembunyi di balik kabut kini mulai tampak.
Konon nama “Hong Kong” berasal dari kata air terjun yang mengalir di sepanjang selatan pulau itu. Pulau ini ditemukan pertama kali oleh kapal yang sedang melintas dan pada waktu itu para awak kapal pergi mencari air. Mereka menemukan air sejernih embun dan karena itu mereka menyebutnya Hong Kow (香江), atau sungai yang harum. Pertama kali sebagian orang memanggilnya Hyong Kong (驚港, pelabuhan yang mengagumkan), sebab itu adalah sebuah pelabuhan yang mengagumkan, dan kemudian menjadi Hong Kong (香港, pelabuhan yang harum). Apapun sebutannya, Hong Kong adalah sebuah pelabuhan yang sungguh-sungguh mengagumkan.
Pulau Hong Kong adalah pulau kecil dengan luas hanya 27 mil, puncak tertingginya sekitar 1800 kaki. Tidak ada daratan yang datar dan keseluruhan dari pulau terdiri atas granit yang tegak lurus di sepanjang laut pantai. Sejak Britania Raya (Inggris Raya) menguasai pulau tahun 1841 setelah Perang Opium[20], orang-orang Inggris membuat jalan agar dapat dilalui dengan cara menghancurkan batu karang, membangun rumah di antara lereng dan pohon ditanam di mana-mana. Pulau yang tadinya menjadi sarang perompak, dalam waktu kurang dari 100 tahun, menjadi kota yang indah dan modern, seperti yang kami lihat hari ini. Kekuatan manusia sangat besar untuk menjadikan pelabuhan yang sangat mengagumkan.
Hong Kong - ditulis di atas kapal Haruna-Maru
Pemandangan Hong Kong yang terlihat dari kapal mengingatkan aku akan sarang lebah. Di sepanjang pantai banyak rumah berdinding batu dengan jendela berbentuk segi-empat memenuhi lereng pulau, mirip seperti sarang yang penuh dengan lubang. Banyak kesan muncul di benakku ketika melihat kesegaran pohon yang dipenuhi sarang lebah. Negeri Dongeng! Apakah cerita dongeng seperti: sayap-sayap keluar dengan cepat dari lubang atau tukang sihir dengan sapu terbangnya ada di sini? Sayang, kami tidak sedang bermain di negeri dongeng tetapi kami datang untuk meresmikan peluncuran Mitsui & Co., yang dikendarai oleh bangsa Cina. Kami berkeliling di sekitar pulau dipandu oleh Tuan Inoue dari Mitsui. Mobilnya melaju di jalan menurun dan beraspal bersinar bagai disemir. Aku melihat sebagian orang di kapal yang sama terlihat sedang mengemudi dan ada juga kearah berlawanan menurut kehendak mereka masing-masing. Di kedua sisi jalan banyak tumbuh pohon palem dan banyan yang berasal dari negara bagian selatan seperti halnya pohon pinus dan bunga azalea berasal dari negara bagian utara. Tampak sangat indah dengan warna merah dan hijau terang disegarkan oleh gerimis hujan. Sungguh menarik bila melihat usaha bangsa Inggris yang membuat beberapa jalan yang dapat dilalui di sekitar pulau granit dan konstruksi bangunannya dari batu bata. Kami pergi untuk melihat Kowloon di pesisir pantai. Seperempat mil adalah wilayah Britania dan sebagian lagi untuk disewa[21]. Penduduk Hong Kong menjadi sangat padat, mereka memperluas perbukitan dengan membangun rumah dengan cara menghancurkan batu-batu kemudian membuat rumah flat. Mereka merancang jalan raya lalu kemudian membangun pertokoan serta rumah tinggal di bidang tanah yang mereka inginkan. Hasilnya adalah rumah kecil yang cantik dengan perpaduan gaya Cina dan Eropa. Beberapa untuk dijual dan beberapa lagi untuk disewakan. Sampai sekarang ini, bangsa Inggris Hongkong terus mengembangkan daerahnya, bukit Kowloon merupakan daerah yang akan dikembangkan dikemudian hari.
Siang harinya, kami diundang oleh kantor perwakilan Mitsui & Co. Hongkong di rumah makan Nan-Tang, yang bersuasana nyaman. Aku melihat pada dinding ada sebuah ungkapan yang ditulis dalam bahasa Cina dan aku mencoba untuk memahaminya tetapi tidak bisa. Aku tidak dapat mengerti bukan karena aku mabuk atau pusing tetapi karena isi dari tulisan tersebut sangat sulit diartikan. Isinya adalah, 塞些事乎廬Mereka juga tidak biasa dan tak seorangpun yang ada di meja itu bisa membacanya. Alasannya bahwa kami semua ilmuwan dan di sana tidak ada yang bisa menjelaskannya. Tuan Her, direktur kantor perwakilan Mitsui dengan tersenyum menerangkan, “Itu dibaca ‘kesuksesan’ yang dalam pengucapan Cantonese artinya, Tidak semua sarjana tahu! Bahwa kesuksesan bisa pula dimiliki oleh orang-orang biasa”.
Di kediaman Tuan Kinoshita
(diambil dari album pribadi penulis).
Malam harinya kami menginap di kediaman Tuan Kinoshita, direktur kantor Nihon Yusen Co. Aku melihat pelabuhan dari atas balkon, lampu-lampu kapal dan lentera rumah tampak berkilauan dengan warna merah dan hijau, seperti bintang yang bertebaran. Pemandangan eksklusif dan sangat menarik seperti ini hanya dapat dilihat di Hong Kong.
Hari berikut, kapal berlayar dari Hong Kong dalam angin kencang dan hujan lebat.
Perjalanan laut - Di tulis di atas kapal Haruna-Maru
Bepergian di atas kapal terasa sangat menyenangkan. Rasanya seperti terpisah dengan dunia lain, sebagian orang merasa tidak sabar ingin kapal segera sampai tujuan. Selagi orang-orang sedang bermain mahyong atau berada di geladak, aku hanya menghabiskan waktuku untuk melihat awan dan ombak, tidak melakukan apapun sepanjang perjalanan, menciptakan halaman putih, paragraf kosong dalam sejarah hidupku.
Anggota dari kelompok ilmuwan kami, adalah orang-orang yang bersikap apa adanya bahkan di daratan, benar-benar santai dan menikmati hidup mereka di atas laut. Suatu hari Dr. Kato, wakil pemimpin, mengusulkan agar masing-masing anggota mengadakan pembicaraan, tiap hari sesudah makan malam, tentang topik di bidang penelitian mereka dengan gaya bahasa yang mudah dipahami. Usul ini, ciri khas akademis, disetujui oleh anggota yang lain dan disambut oleh banyak para penumpang yang berkumpul tiap malam di ruang makan yang panas dan mendengar cerita-cerita dengan jelas tentang awan dan pegunungan bukan untuk dipraktekkan di kehidupan sehari-hari mereka, sambil menyeka keringat di wajah mereka.
Bahasa sehari-hari di Hindia Timur adalah Melayu. Aku ingin mengajarkan bahasa tersebut kepada putraku untuk kenyamanannya selama perjalanan. Putra pertamaku bernama Gorōta. Nama itu merupakan arti dari nama salah satu nenek moyangku bernama Yoshinao[22]. Ketika Yoshinao dilahirkan, ayahnya Ieyasu[23] bertanya kepada seseorang bernama Aoki, arti dari nama yang akan diberikan bagi putranya yang baru lahir. Tanpa mengetahui maksud dari pertanyaan itu, Aoki menjawab bahwa itu berarti gorota-ishi[24] yang berfungsi untuk dasar dinding batu. Gorōta yang kini tumbuh besar, bertubuh sedang, lima inchi lebih tinggi dari ayahnya. Ada beberapa orang yang juga ingin belajar bahasa Melayu bersama-sama dengan Grōta. Ini hanya untuk mengisi waktu dan esok paginya seorang guru dengan percaya diri memulai pelajaran untuk muridnya yang terdiri dari para profesor dan orang-orang yang sudah tua. Para murid mempelajari ungkapan untuk bertanya: tempat dimana ada rumah makan dan toko dan bagaimana menawar pada saat berbelanja di toko. Mereka berkata, bila bepergian di pulau Djawa cukup dengan mengetahui bagaimana cara masuk, keluar, dan pergi. Mereka belajar ungkapan itu dalam beberapa hari dan bila mereka sudah bisa, mereka meninggalkan pengajarnya begitu saja.
Makan adalah salah satu cara untuk menghabiskan waktu. Kido, Kuroda, isteriku dan diriku duduk bersama-sama dalam satu meja kadang Kapten Okamoto ikut bergabung dengan kami. Kuroda adalah keturunan bangsawan dan tidak banyak bicara. Sebaliknya, Kido dan diriku bukanlah orang yang elegan dan cukup memilih menu daging korned dan kubis, makanan bocah tua nakal, Jiggs, yang lebih suka makan untuk menghindari pesta istrinya[25]. Ketika kami memesan makanan praktis ini, Kuroda mengikuti saja dan memakannya sambil tersenyum.
Percakapan di atas kapal Haruna Maru
(diambil dari album pribadi penulis).
Sehari setelah meninggalkan Hongkong, kami memasuki daerah tropis. Ombak di laut sangat bersih dalam warna biru laut dan langit berwarna biru kehijauan yang pucat. Ketika aku bersandar di tangga sambil menyaksikan ombak, tiba-tiba Nona Motoko, putri dari Tuan Nakahara[26], datang menghampiriku. Dia bercerita tentang seekor ular laut yang ia dengar dari seseorang, tetapi ia tidak yakin akan hal itu. Ketika kami pergi ke sana, tiga orang yang sudah tua sedang menatap ombak bergulung-gulung. Mereka adalah Profesor Coville, Cooke dan Black yang juga akan menghadiri kongres yang sama. “Itu di sana! Apakah kamu melihatnya?” “Tidak. Itu pasti yang ketiga”. “Oh, apa itu yang berwarna putih?” Ketika aku bertanya apa yang mereka sedang lakukan, mereka berkata bahwa mereka sedang melihat ular laut. Aku kira butuh kesabaran dan toleran untuk dapat menemukan seekor ular laut yang datang sampai ke permukaan air di samudra luas sambil mengikuti kapal. Mereka menceritakan kepadaku bahwa mereka telah melihat enam kali dalam dua jam. Di samping ular laut, berbagai makhluk seperti gurita, ikan hiu dan ikan terbang juga muncul di sana. Mereka sangat senang melihat obyek itu. Aku tidak tahu, untuk tujuan apa mereka melihat ular laut.
Kapal pergi menjauh menuju selatan dan tiba di Singapoera, ketika Bintang Trion pergi mendekati kaki langit dan tepat di bagian Selatan bersinar di atas tiang kapal.
Singapoera - ditulis di atas kapal Haruna-Maru
Entah karena air pasang yang menolong kami atau karena mesin kapal diputar lebih cepat sehingga kapal tiba di dermaga Singapoera sore hari tanggal 8, lebih cepat dari jadwal tanggal 9 pagi harinya. Aku menyarankan orang-orang untuk melihat beberapa permainan orang Melayu, daripada berkeringat dan didera rasa bosan menanti di dalam kapal yang panas. Akupun memberikan nama-nama jalan dan teater secara rinci. Keluargaku bersama Nona Usami terlambat tiba di sana, setelah menyelesaikan berbagai macam hal, namun tidak ada satu pun orang-orang di sana. Permainan mereka didasarkan pada dongeng dari India dan Malaya. Para aktor dan aktris yang ada dalam rombongan merupakan orang-orang Melayu yang berpenampilan perlente dengan mata bersih dan gigi yang rapi walaupun kulit mereka sedikit gelap. Teater yang diberi nama Opera Kerajaan itu terletak di jalan Jembatan Utara yang oleh orang-orang Jepang disebut Jalan Nobetsu. Acara dimulai pada malam hari pukul sembilan dan berlanjut sampai pukul duabelas. Ini adalah “nobetsu-makunashi[27]” yang nyata dan permainan berlangsung seperti sebuah film.
Di bangku depan, aku melihat punggung seseorang yang kurasa begitu mengenalnya. Ketika ia memalingkan wajahnya pada kami, Ia adalah Pangeran Mahkota dari Johor. Kejadian itu tidak terduga sehingga bahasa Melayu yang aku katakan tidak dapat aku sampaikan dengan lancar. Aku menyapa Pangeran dengan campuran bahasa Melayu dan bahasa Inggris, keningku sampai berkeringat. Rasanya aku tidak lagi menonton separuh kedua permainan itu. Ketika aku kembali ke kapal, ada orang yang mengatakan bahwa mereka diajak naik mobil untuk pergi ke beberapa tempat di Dunia Baru dan menonton suatu permainan sulap dan tarian Melayu.
Pada pagi hari tanggal 9, semua anggota kelompok kami menyatakan rasa terima kasih kami kepada sang kapten dan anak buahnya yang telah melayani kami selama lebih dari dua minggu. Kami pun mengucapkan selamat tinggal kepada para penumpang lainnya yang kami kenal, lalu kami meninggalkan kapal. Dengan dipimpin oleh Dr. Kato selaku wakil pimpinan kelompok, kami menginap di hotel Eropa dan kemudian masing-masing pergi untuk melihat-lihat. Prioritas pertamaku adalah pergi ke Johor. Aku mengendarai mobil sejauh 15 mil melalui jalanan datar dan halus bagai batu asahan yang dihiasi ranting-ranting pohon di sepanjang pinggir jalan. Di sana ada sebuah jembatan yang pernah aku seberangi delapan tahun yang lalu, yang langsung menghubungkan Singapoera dengan Johor.
Soeltan Johor sedang tidak ada di tempat, sejak bulan Maret ia pergi ke Inggris untuk menikmati musim panas. Sayang sekali, walaupun aku telah menulis surat untuk memberitahukan tentang kunjunganku ini, aku tidak akan dapat bertemu dengannya karena jadwalku tidak dapat disesuaikan dengannya. Ketika aku pergi ke kantor Kepala Istana dan mengatakan kepada mereka perihal kedatanganku ini, Sekertaris Soeltan yaitu Tuan Said, Mayor Yaya dan yang lainnya datang untuk menyambutku. Mereka berkata bahwa Soeltan akan senang menerima kedatanganku bila ia ada di sini. Aku diberitahu bahwa Pangeran tinggal di istana yang baru, dan aku langsung pergi ke sana untuk mengunjunginya. Kami makan siang bersama di hotel Johor, dan kami berbincang-bincang tentang banyak hal termasuk pertemuan kami yang tak terduga di malam sebelumnya dan perburuan harimau yang kami lakukan delapan tahun yang lalu di daerah Bangsa Moor. Aku merasa kesulitan berkomunikasi karena bahasa Inggris dan Melayu yang kupelajari akhir-akhir ini masih sangat lemah. Setelah aku menyelesaikan kunjungan kehormatan kepada Pangeran Johor, aku kembali ke Singapoera.
Kota Singapoera merupakan daratan yang bermusim panas namun pada musim itu tumbuhan tetap hijau. Hal itu dapat dilihat dari pohon-pohon banyan dengan daun-daun berwarna hijau tua, pohon flamboyan dengan bunga-bunga merah melambai, langit yang tampak cerah, dan sebagainya. Singapoera terlihat seperti lokasi pameran dari berbagai ras dengan 26 bahasa yang berbeda digunakan untuk percakapan di sana. Orang-orang hitam dengan kulit bersinar dan sama gelapnya seperti kecoa, sedangkan orang-orang yang warna kulitnya merah tembaga menyerupai patung Buda keemasan. Orang yang bertubuh ramping memiliki lengan dan kaki yang panjang seperti dalam film kartun, sedangkan yang gemuk sama bulatnya seperti patung Dharma[28], dan ada juga orang-orang berkulit putih dan berkulit kuning. Mobil-mobil berlalu lalang di mana-mana, banyak kereta kuda di sana sini dan para penarik rickshaw berlarian di antara kendaraan dan para penumpang. Singapoera yang sesak dan ramai penuh dengan hawa kolonial. Satu perbedaan yang aku catat dari delapan tahun yang lalu adalah jumlah kereta telah berkurang dan jumlah bus meningkat. Perubahan lainnya adalah adanya bus trem listrik telah dikembangkan dapat berjalan tanpa rel di seputar kota, jalan-jalan dapat dilalui dengan baik dan transportasi lebih menyenangkan.
Pengaturan lalu lintas kota agak sedikit aneh. Para polisi berdiri di jalan-jalan yang ramai dengan sepasang papan rotan dengan panjang empat kaki seperti sayap seekor capung terikat di punggung mereka. Mereka dapat mengatur arah lalu lintas hanya dengan memutar tubuh mereka tanpa harus mengangkat tangan. Di setiap sisi sayap para polisi itu terdapat masing-masing lima bola kaca berwarna merah berdiameter satu inchi. Bola kaca itu akan bercahaya diwaktu malam karena bola itu dapat merefleksikan lampu sorot mobil yang dapat dilihat dari kejauhan. Setiap sayap dapat dipindahkan naik turun secara terpisah sehingga salah satu sisi dari lalu lintas dapat dihentikan. Orang-orang Inggris berusaha keras untuk mengatasi permasalahan lalu lintas dan jalan-jalan umum.
Hotel Eropa tempat kami menginap merupakan bangunan besar dan kuno, mirip sebuah rumah kosong. Struktur bangunannya aneh seperti roti isi. Kamar mandi hotel berada di antara lantai bawah tanah dan lantai pertama yang berlangit-langit rendah, sehingga untuk menuju ke sana para tamu di lantai atas dan lantai di bawahnya dapat menggunakan tangga yang tersedia. Tidak seperti di daerah tropis lainnya, di sana tidak ada pintu ataupun air panas, bahkan sebagai pengganti bak mandi hanya ada sebuah kolam yang berukuran besar dan penuh dengan air untuk mandi. Tanpa memperdulikan cara mandi pada umumnya, seseorang berendam dengan senangnya di dalam kolam itu dengan posisi seperti seekor anak kura-kura darat.
Di atas tempat tidur ada sebuah guling besar yang oleh orang Belanda disebut “Dutch Wife”, mirip dengan Bamboo Lady[29] di Cina. Guling itu menyerupai sebuah bantal dengan panjang tiga kaki, yang diperlukan di negara-negara bermusim panas untuk mencegah perut menjadi dingin. Beberapa orang berpikir untuk membuat bantal yang sangat panjang untuk menggantikan bantal yang biasa. Banyak hal-hal lucu seperti ini dapat kita jumpai di tempat-tempat yang memiliki kebiasaan dan tatakrama berbeda. Pada tanggal 10 pukul empat sore, kelompok kami berangkat menuju pulau Djawa dengan menggunakan kapal De Melchior Treub[30] milik perusahaan K.P.M.[31] Belanda.
Laut Bangka - ditulis di atas kapal Haruna-Maru
Kapal ini diberi nama untuk mengenang Dr. Melchior Treub[32]. Ia adalah Direktur Kebun Botani Buitenzorg selama lebih dari tigapuluh tahun dan telah membawa Kebun Botani Buitenzorg sebagai Kebun Botani nomor satu di dunia. Di depan pintu ruang umum terdapat patung sebatas dada Dr. Treub dilengkapi informasi mengenai hasil-hasil kerjanya.
Walaupun kapal itu bukanlah kapal yang baru, namun kapal tersebut memiliki kabin yang luas dan tiap-tiap sudut di bagian dalamnya dicat putih. Kapal penumpang berbobot 3.000 ton itu dirancang secara khusus sehingga dapat bepergian ke daerah beriklim panas dengan suasana nyaman. Jongos[33] adalah orang-orang Djawa bertelanjang kaki dengan kain batik diikatkan di kepala mereka seperti kopiah. Sangatlah aneh bila melihat mereka duduk di geladak atau di koridor di saat mereka tidak ada pekerjaan. Sebelumnya aku pernah berada di kapal ini saat mengunjungi pulau Djawa dan secara kebetulan sekali lagi aku menjadi penumpang di kapal ini.
Kebanyakan para penumpang di atas kapal adalah peserta kongres, seperti Direktur Kebun Botani Singapoera yaitu Dr..Holttum, dan masih banyak lagi yang berasal dari Singapoera. Untuk perjalanan ini, panitia pelaksana di Batavia telah mengutus anggotanya untuk menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan di atas kapal.
Kapal memasuki selat Riouw, sebuah terusan sempit diantara pulau Bintan dan pulau Batam. Sekumpulan awan tampak bercahaya dan kemudian matahari sore terbenam di bawah ombak-ombak laut yang jauh. Di daerah tropis, matahari terbenam dengan pelan dan tenang. Tidak ada senja maupun fajar menyingsing di daerah tropis ini. Setelah matahari terbenam di belakang kaki langit, awan-awan membentuk lima warna di langit dan ombak pasang dengan cepat menghilang menjadi kelabu dan tabir malam hinggap di langit dan bumi belahan Timur. Ketika bumi belahan Barat masih bercahaya, separuh bumi belahan Timur menjadi gelap dihiasi gemerlapnya cahaya bintang di atas.
Tengah malam itu, aku menyeberangi garis katulistiwa untuk kedua kalinya[34]. Ketika aku bangun keesokan harinya, kapal sedang melanjutkan perjalanan ke arah selat Bangka yang indah yang memisahkan pulau Sumatra dan pulau Bangka, setelah sepanjang malam melewati selat Riouw. Di sebelah kanan adalah pantai landai Sumatra dan yang dekat pelabuhan adalah pulau Bangka. Pantai pesisir Sumatra dipenuhi dengan pohon-pohon raksasa setinggi lima puluh sampai enampuluh kaki dan dari kejauhan hutan di sana terlihat seperti sebuah karang. Ketika kapal lewat di dekat pantai, kami melihat air laut yang keruh dan berwarna coklat kemerahan. “Apakah itu ganggang laut atau plankton yang mengapung ?” “Barangkali, bukan!” Para ilmuwan datang dan mulai berdiskusi sambil bersandar di tangga kapal. Ketika mereka sedang menyatakan berbagai pendapat dan argumentasi yang berbeda, salah seorang anggota memberikan sebuah jawaban yang sederhana. Menurut penjelasannya, warna kemerah-merahan pada air laut itu berasal dari air sungai yang kotor yang mengalir dari hutan bakau.
Permukaan laut begitu tenang dan lembut seperti dilapisi lapisan minyak tipis yang sangat luas seolah tak bertepi menciptakan garis putih dari buritan kapal itu. Garis putih itu begitu panjang, seperti benang yang tiada henti menghubungkan Utara dan Selatan.
Tiba di pulau Djawa - ditulis di Batavia
Setelah menempuh perjalanan selama 36 jam dari Singapoera, kapal merapat di dermaga Tandjoeng Priok, pelabuhan Batavia. Pemandangan pelabuhan tidaklah beragam seperti di Singapoera dan di sana tidak terdapat orang-orang dari berbagai bangsa, yang terlihat hanyalah orang Djawa yang memakai kain dikepalanya (m. kopiah batik) bersama orang Jepang yang berbaju putih dan orang-orang Belanda. Anggota-anggota komite Belanda memakai lencana kongres, Tuan Miyake, Konsul Jenderal dan orang-orang Jepang lainnya datang menyambut kami. Barangkali ini merupakan pertama kalinya sejumlah besar orang Jepang datang ke Batavia pada waktu yang bersamaan. Para delegasi masuk ke dalam mobil yang telah disediakan oleh orang-orang Belanda yang mengatur jalannya acara. Mereka menempuh jarak enam mil menuju Weltevreden melalui jalan raya yang ditumbuhi jajaran pohon-pohon dan di sampingnya terdapat saluran air yang digenangi air keruh berwarna merah. Kemudian, mereka memasuki Hotel Koningsplein[35]. Semua kamar hotel telah dipesan eksklusif untuk kongres dan akan dihuni oleh peserta-peserta kongres yang mewakili berbagai negara. Acara ini akan cukup menyibukan, mengingat lebih dari 270 peserta berkumpul di Batavia meliputi lebih dari 240 peserta berasal dari luar negeri diantaranya 42 orang Jepang sisanya adalah orang-orang Belanda.
Menjelang tengah hari, pembagian kamar telah selesai dan setiap delegasi telah menerima lencana keanggotaan dan bahan-bahan kongres. Di sana ada sebuah pameran dari berbagai ras Hindia Timur. Di depan hotel penuh sesak dengan para wanita dan laki-laki serta anak-anak yang memakai sarung batik berwarna-warni sambil memegang payung merah, anak muda yang modern dengan kain kepala, mobil dan sado[36]. Sayangnya, kami tidak punya waktu untuk beristirahat karena kami harus lebih dulu bersiap-siap menghadapi perjalanan di bawah panasnya matahari. Sesuai dengan yang telah dijadwalkan kami akan berkaryawisata ke gunung api Krakatau[37] dengan menggunakan perahu sore nanti. Walaupun keringatku berjatuhan seperti air terjun yang menyembur tiada henti tetapi aku tidak merasakannya.
Karyawisata di pulau Krakatau - ditulis di atas kapal De Rumphius
Kami tiba di Batavia pada tanggal 12 pagi hari, kemudian sore harinya sekitar pukul tiga lewat empat puluh lima menit kami meninggalkan hotel menuju Tandjoeng Priok. Sekitar seratus delapan puluh anggota dibagi ke dalam sepuluh bus yang bentuknya unik. Kami meninggalkan pelabuhan pada pukul lima lewat tigapuluh menit dengan menumpang kapal De Rumphius[38] milik perusahaan perkapalan K.P.M dan kapal De Wega[39] milik pemerintah. Seseorang berkata, “Pemerintah Belanda sangat dermawan”. Tentu saja, mereka menjamu tamu mereka dengan sangat baik dan ramah, dan mereka menyiapkan kapal berbobot 2.500 ton dan sebuah kapal yang sedikit lebih kecil. Di atas kapal De Rumphius terdapat sekitar seratus lima puluh orang. Para wanitanya hanya beberapa orang saja, sebab kami telah diberitahukan sebelumnya bahwa perjalanan ini akan cukup sulit bagi para wanita. Teman sekamarku adalah Viscount Akamaro Tanaka yaitu seorang ahli limnologi dan berasal dari Owari, propinsi yang sama dimana aku tinggal.
Perahu berlayar di atas laut yang tenang menempuh perjalanan sekitar seratus mil laut menuju Krakatau, mengarungi laut pulau Seriboe[40] yang berbahaya, di mana banyak bukit karang berserakan, dan melewati selat antara pulau Djawa dan Sumatra. Banyak teman-teman yang aku kenal pada saat Kongres yang ketiga di Jepang. Kami menyebar membentuk kelompok dan bercakap-cakap sambil menghilangkan rasa dahaga kami dengan minum koktail seraya menatap kagum akan indahnya matahari yang sedang terbenam itu.
Digambar pada: Dammerman, K.W., Fourth Pacific Science Congres Java 1929 – Preservation of Wild Life and Nature Reserves in the Nederlands Indies
Ketika aku pergi ke geladak pada pukul lima pagi tanggal 13, lampu kapal De Wega yang berada di depan kami terlihat dalam kegelapan. Aku sedang melihat-lihat dan menemukan sebuah bayangan pulau hitam yang berangsur-angsur terlihatlah pulau Krakatau yang terkenal itu. Ketika langit mulai pudar, garis pesisir pulau itu terlihat lebih jelas. Tak lama kemudian pulau itu terlihat lebih bercahaya, bahkan lebih cepat dibandingkan perginya kegelapan malam. Pada pukul enam lewat lima belas menit, matahari muncul di antara langit bersih yang cerah dari kaki langit. Tak lama kemudian, matahari itu perlahan-lahan naik, memancarkan cahayanya seperti sebatang baja panas yang berpijar setelah dicabut dari tungku perapian. Sebuah peristiwa terbitnya matahari yang luar biasa sederhana.
Krakatau adalah kelompok pulau gunung api yang terletak di selat Soenda yang memisahkan pulau Djawa dan pulau Sumatra. Ada tiga pulau yang masing-masing bernama Krakatau (Rakata), Sertoeng (pulau Verlaten), Rakata Ketjil (pulau Langs), sebuah pulau kecil yang disebut Batu karang Boatman, dan sebuah pulau yang disebut Anak Krakatau baru muncul pada bulan Januari ini.
Ketiga pulau tersebut mengelilingi sebuah kawah berbentuk segitiga dalam sebuah lingkaran berdiameter tujuh kilometer. Mungkin pada awalnya pulau-pulau itu merupakan pulau besar yang kemudian terpisah setelah bagian tengahnya meletus. Oleh sebab itu, ketiga puncak gunung tersebut mengarah pada satu titik di tengah segitiga itu. Pulau yang memiliki puncak tertinggi adalah pulau Rakata dengan ketinggian 813 meter dan dua puncak lainnya memiliki ketinggian sekitar 200 meter. Pulau tersebut mulai dikenal pada tahun 1883 (16 tahun setelah era Meiji) ketika gunung api itu mulai aktif pada 20 Mei dan meletus dengan hebat pada tanggal 26 sampai 28 Agustus. Suara letusannya sangat keras sampai terdengar di Singapoera dan Australia. Tiga per empat bagian pulau hancur, kedua puncaknya yang disebut Perboewatan dan Danan lenyap lalu kawahnya tenggelam di laut sampai kedalaman 270 meter. Letusan itu diikuti dengan adanya gelombang tsunami yang sangat dahsyat dan sekitar empat puluh ribu orang yang berada di pesisir pantai Djawa Barat dan Sumatra hanyut dan tenggelam. Setelah peristiwa tersebut, pulau-pulau itu menjadi lebih terkenal dan menakutkan semua orang di seluruh dunia. Walaupun semburan apinya tidak dapat dilihat dari jarak yang sangat jauh, namun batu apung dan debu yang disemburkan ke udara mencapai ketinggian 80 km hingga mencapai lapisan atmosfer yang paling atas dan kembali ke bumi sebanyak tiga kali. Warna langit berubah dan matahari menjadi berwarna merah yang mengerikan[41]sehingga orang-orang berpikir bahwa itu merupakan pertanda buruk[42]. Mereka terus merasa cemas sampai warna yang disebabkan oleh debu Krakatau itu hilang dan kembali menjadi warna matahari yang sesungguhnya, dan nama pulau Krakatau itu melekat dalam ingatan semua orang. Setelah hampir 44 tahun, pulau itu kembali aktif dua tahun yang lalu yaitu pada Desember 1927 dan Anak Krakatau mulai muncul di tengah-tengah ketiga pulau itu pada bulan Januari tahun ini (1929). (Anak Krakatau menghilang kembali pada bulan Agustus di tahun yang sama[43]).
Kapal memasuki kawasan kawah pertama, tepatnya pada pertengahan ketiga pulau, dan berlabuh di dekat pantai, tepat di bawah kaki karang yang tingginya 2.400 kaki di sisi sebelah dalam dari pulau Rakata. Karena tujuan masing-masing ilmuwan telah dikelompokkan, maka para ahli geologi dipindahkan ke kapal De Wega dan para ahli ilmu biologi masuk ke dalam kapal De Rumphius, sebelum mereka menepi.
Kapal De Rumphius pergi ke luar pulau Rakata. Seperti halnya pemain akrobat, kami melompat ke atas sebuah perahu kecil di tengah laut yang bergemuruh meraung laut, dan mendarat secara perlahan di pantai sebelah Tenggara dan turun dari perahu tanpa membasahi kaki kami. Semua makhluk hidup di pulau Rakata telah terbunuh pada saat letusan besar itu terjadi dan semua terkubur di bawah debu panas. Namun sekarang tumbuh-tumbuhan telah tumbuh kembali dalam kurun waktu lima puluh tahun dan membentuk sebuah hutan pohon casuarina yang tingginya lebih dari seratus kaki dengan tumbuh-tumbuhan lain di sekitarnya. Semua flora dan fauna di sana dilindungi dan tidak boleh diambil untuk dijadikan koleksi. Namun pada kesempatan ini kami diperbolehkan mengambil setelah memperoleh ijin khusus dari seorang ahli botani yaitu Dr. van Leeuwen[44], seorang ahli zoologi yaitu Dr. Dammerman[45], dan seorang ahli geologi yaitu Dr. Stehn[46], yang dikirim dari Belanda untuk memandu dan memberikan penjelasan kepada kami. Suatu keberuntungan bagi kami, karena pada saat itu ada seorang ahli botani yang sangat berpengalaman yaitu Dr. Miyoshi[47] yang memberikan pelajaran kepada kami layaknya kami berada di bangku sekolah, dan hubungan terjalin seperti halnya guru dan murid.
Peralatanku kurang lengkap untuk mengambil bahan koleksi dan tumbuh-tumbuhan terlalu besar untuk dibuat contoh yang akan dipres. Karena itulah aku lebih banyak bertanya kepada guruku tentang beberapa bunga, dedaunan dan buah-buahan yang aku temukan yang menarik perhatianku, dan aku mengambil biji-bijian kecil yang bisa masuk ke dalam sakuku. Teman-temanku yang lain terus berjalan dengan lincah di tengah semak-semak tumbuhan merambat dan rumput liar untuk mendapatkan sesuatu yang menarik.
Dr. Hattori dan Tuan Emoto dari laboratoriumku sedang mengamati jamur-jamur lumpur yang seperti merayap di tanah. Di antara ahli zoologi, beberapa dari mereka sedang melambai-lambaikan jaring-jaring serangga, beberapa orang lagi sedang mengaduk segala sesuatu yang ada dalam kubangan, yang lainnya sedang menggali tanah. Mereka semua terlihat begitu antusias. Aku melihat seseorang menaruh sesuatu yang sangat indah ke dalam kantong teropongnya yang berisi makhluk-makhluk menjijikan seperti binatang yang menyerupai cacing tanah berkaki dan seekor trenggiling sepanjang lima inchi.
Di pulau itu aku melihat keong dan kadal. Kami bertanya-tanya kenapa pohon-pohon yang besar dapat tumbuh dan binatang-binatang seperti itu dapat hidup kembali di pulau yang terpencil di tengah laut setelah semua makhluk hidup musnah oleh letusan gunung berapi. Alasannya sangat jelas bila kita melihat ke pesisir pantai banyak sekali ranting dan buah-buahan dari berbagai tumbuhan datang dari pulau terdekat. Hanya sedikit binatang-binatang berhasil mencapai pulau Rakata setelah melalui perjalanan yang jauh dari pulau asalnya dengan cara mengapung di atas buah-buahan atau kayu-kayu busuk.
Seorang peserta berkata, “Kita berada tepat di atas gunung berapi. Kita tidak bisa melarikan diri jika gunung ini meletus sekarang”. Yang lain menjawab, “Tidak apa-apa. Suatu kepuasan bagiku sebagai seorang ilmuwan jika tulang-tulangku menjadi abu dan kembali ke bumi sebanyak tiga kali”. Itu benar. Diam-diam aku menyimpan sejumlah batu apung ke dalam sakuku, sebab batu-batu itu akan menjadi tanda mata yang terbagus dari pulau gunung api yang terkenal ini di mana aku tidak akan datang lagi.
Setelah menikmati makan siang di atas kapal, kita menepi di pulau Sertoeng. Tidak ada sesuatu yang ganjil di pulau kecil ini kecuali kayu casuarina yang asli. Prof. Miyoshi mengatakan bahwa satu contoh penelitian dari pohon ini tumbuh di Shizuoka (Jepang). Kami mencari kerang laut di pesisir pantai tetapi tak satu pun kami temukan. Ketika kami kembali ke atas kapal pada pukul lima, kelompok ahli geologi datang dengan membawa banyak batu dalam tas punggung mereka. Mereka berkata bahwa mereka mendapatkan sebuah pengalaman yang mengerikan karena mereka terendam di dalam air laut dan dihantam ombak ketika mereka akan menepi.
Kedua kapal, De Wega dan De Rumphius, mengangkat jangkarnya pada pukul tujuh dan pergi meninggalkan Krakatau. Aku menatap pulau yang tidak mungkin dapat aku kunjungi lagi, sampai pulau itu hilang di kejauhan.
Penduduk Hindia Timoer - ditulis di Batavia
Ketika kami kembali ke Batavia dari Krakatau pada pagi hari tanggal 14 Mei, Dr. Hatai, Ketua, dan sekitar lima belas orang yang menggunakan Kapal Surabaya-Maru tiba di hotel. Dengan demikian, keempatpuluh anggota dari Jepang telah hadir seluruhnya.
Pada pukul lima lewat tiga puluh menit, ada pawai dan tarian tradisional dari pulau-pulau yang ada di Hindia Timur. Acara tersebut diadakan di alun-alun taman hiburan Dieren-Tuin[48], yang diselenggarakan oleh Masyarakat Seni dan Ilmu Pengetahuan Batavia untuk para delegasi yang menghadiri Kongres Ilmu Pengetahuan. Aku pergi dengan Yoneko dan Gorota, ditemani Konsul Jenderal Tuan Miyake. Lokasi alun-alun sebelumnya adalah sebuah kebun binatang. Setelah kami berjalan-jalan sejenak dari pintu masuk di bagian kiri dan kanannya ditanami pohon palem raja, kami melihat sebuah bangunan yang sangat besar di depan kami. Keempat sisi bangunan itu terbuka dan langit-langitnya tinggi sesuai untuk daerah beriklim tropis. Lampu-lampu berwarna merah, jingga, hijau dan ungu bersinar terang menyinari pepohonan hijau yang ada di halaman. Sungguh sebuah suasana malam yang terasa indah di bagian Selatan.
Ketika Gubernur Jenderal[49] tiba, pawai dimulai, semua suku menggunakan pakaian daerah mereka masing-masing. Sangat mengejutkan bahwa di setiap pulau dihuni oleh orang yang berbeda dan hanya ada di wilayah Hindia Timur saja. Ada orang Ambon yang terlihat pemberani, orang Bali yang ningrat, orang Karo dan Toba Batak yang terlihat ramai, Dayak, Papua, orang-orang Nias, Atjeh, Minangkabau, Jambi, Palembang, Legian, Serma, Lampoeng, Soenda, pulau Djawa, Sangier, Donggala, Masamba (Toraja), Tulang, Soemba, Kisar, Ceram, Jailolo dan masih banyak lagi. Ada orang-orang yang berpakaian indah dan orang-orang yang terlihat pemberani. Rombongan itu berbaris dengan teratur sambil membawa senjata pada tubuh telanjang mereka. Ada duapuluh empat suku bangsa secara keseluruhan. Setelah berpawai, tarian mereka dimulai.
Suku bangsa garang dari Papua, Dayak dan yang lainnya itu telanjang dada, dan mereka menyajikan tarian perburuan dan tarian pertempuran yang begitu hebat, gagah, dan primitif. Tarian tenang dari Minangkabau menyerupai campuran tarian penangkap ikan[50] dan tarian Bon dari Jepang[51]. Yang sangat menarik adalah tarian orang Bali ketika mereka menangkap setan. Seperti cerita Ibaraki[52], dua anak perempuan menari kemudian salah satu dari mereka berubah menjadi tukang sihir wanita yang diserang oleh wanita lainnya dengan sebilah pedang. Ungkapan-ungkapan yang dikatakan dan nada bicara mereka seperti halnya gaya gerakan mereka, sungguh serupa dengan permainan tradisional di Jepang. Penampilan terakhir adalah sebuah pertunjukan wayang wong[53] dari istana Solo, ibukota pulau Djawa, serupa dengan kombinasi antara bugaku dan noh[54] di Jepang. Acara tersebut selesai pukul sembilan.
Setelah itu, para delegasi dari Jepang diterima oleh Konsul Jenderal Tuan Miyake. Sebelum berangkat dari Tokyo, semua anggota diundang oleh Ketua Dewan Ilmu Pengetahuan Dr..Sakurai untuk menghadiri pesta serupa yang diorganisir
untuk menyambut Dr. Vaughan dari Amerika, tetapi beberapa orang di antara mereka yang berasal dari tempat terpencil tidak dapat hadir. Oleh Tuan Miyake, ketua kami yaitu Dr. Hatai, dan Dr. Kato sebagai wakil ketua, yang kami pilih bersama-sama, semua anggota berkumpul bersama untuk pertama kalinya.
Upacara Pembukaan - ditulis di Batavia
Pembukaan Kongres Ilmu Pengetahuan Pasifik yang keempat digelar pada tanggal 16 Mei di Batavia. Menurutku tujuan kongres kali ini agak meluas. Tujuan Kongres diarahkan pada “peningkatan kesejahteraan umat manusia di sekitar pantai pesisir pasifik”. Difokuskan pada umat manusia, bukan negara. Hal yang seringkali terjadi adalah jika bantuan dari sebuah negara dilakukan untuk kepentingan politik dan ekonomi, maka keuntungan yang diperoleh negara tersebut akan menyengsarakan bangsa lain. Ini sama sekali tidak dapat dibenarkan. Kongres dimaksudkan untuk membuat semua orang bahagia dan menciptakan perdamaian di seluruh dunia dengan memajukan kebudayaan melalui penelitian ilmiah, lepas dari kepentingan politik dan ekonomi. Dari segi sudut pandang yang praktis, hal ini akan terdengar tanpa makna dan sedikit hampa. Meski saat ini hasilnya tidak dapat kita lihat, tetapi seratus tahun mendatang hasil kerja keras ini pasti akan terlihat. Ini adalah makna dari kekuatan ilmu pengetahuan. Kongres Ilmu Pengetahuan Pasifik diadakan setiap tiga tahun sekali di negara-negara yang terletak di sekitar Samudra Pasifik. Kongres pertama diadakan tahun 1920 di Honolulu (Hawaii), hanyalah sebuah pertemuan kecil. Kongres kedua diadakan di Melbourne (Australia), dan hanya sedikit anggota dari Jepang yang menghadirinya. Kongres ketiga diadakan tiga tahun yang lalu di Tokyo tahun 1926 dan hanya dihadiri oleh beberapa ratus ilmuwan dari berbagai negara. Kongres yang keempat seperti yang telah dijadwalkan diadakan di Batavia dan Bandoeng (pulau Djawa). Pengalaman kongres di Tokyo membuat para ilmuwan Jepang lebih bersemangat untuk mengikuti kongres ini dan lebih dari empat puluh ilmuwan Jepang datang bersama-sama ke Batavia. Meskipun hal ini mungkin akan terjadi lagi, tapi sebelumnya tidak pernah ada kejadian di mana sejumlah besar ilmuwan pergi ke luar negeri bersama-sama.
Kongres Ilmu Pengetahuan Pasifik yang keempat dibuka tanggal 16 Mei di Batavia. Tempat ini yang kemudian disebut Djakatra, 咬𠺕吧, tempat di mana kita sebagai orang Jepang mempunyai hubungan khusus. Aku menulisnya dalam huruf-huruf yang sulit tetapi dibacanya Djakatra atau Jagatara[55], sebuah nama yang terkenal selama tiga ratus tahun. Nama Jagatara mengingatkan kami pada nama jaga-imo, merupakan kota terkenal sebagai penghasil kentang[56] di Jepang. Nama tersebut juga mengingatkan kami pada Jagatara-bumi[57].
Ketika pemerintahan Shogun melarang agama Kristen pada bulan September tahun ke-15 Masehi di era Kan-Ei[58], di antara orang-orang yang tidak setuju untuk mengubah agamanya dan diusir dari Nagasaki adalah seorang anak perempuan yang bernama Oharu[59]. Selama dalam pengasingan di luar negeri, ia sangat rindu akan tanah airnya, Jepang, dan ia berharap dapat menanam pepohonan dari negeri asalnya agar ia selalu teringat pada rumahnya yang tidak akan pernah dikunjunginya lagi. Dia menulis sebuah surat yang berisi permohonan untuk dikirimkan beberapa benih tanaman melalui seorang kabitan[60] Belanda. Surat itu menceritakan kepada kami, betapa ia sangat kesepian dan memendam kerinduan yang sangat dalam[61]. Begitu banyak orang yang menyesali nasib mereka dan juga orang-orang yang dikuburkan di tanah ini[62]. Tempat ini, dahulu dikenal dengan nama Soenda Kelapa yang kemudian diubah menjadi Djaja-Karta sekitar tahun 1527. Djaja berarti kebahagiaan dan kemakmuran, dan karta berarti ibukota. Selanjutnya Djaja-Karta disingkat menjadi Djakarta, dan akhirnya menjadi Djakatra[63].
Di kota inilah kami memiliki banyak kenangan bersejarah, para delegasi dari berbagai negara-negara di wilayah sekitar Pasifik sudah berkumpul dari pukul delapan lewat tigapuluh menit pagi di aula Perguruan Tinggi Teknologi[64]. Jenis pakaian yang dikenakan adalah pakaian resmi yang terasa sedikit hangat. Pada pukul sembilan, Gubernur Jenderal tiba dan membuka Kongres Ilmu Pengetahuan yang keempat. Ia memberi ucapan selamat datang dan menyambut kehadiran para delegasi negara-negara yang jauh. Berikutnya adalah sambutan dari Dr. de Vries[65], ketua kongres, dan kemudian perwakilan dari masing-masing negara-negara, termasuk Dr. Hatai perwakilan Jepang, yang dipanggil berdasarkan abjad memberikan pidatonya.
Kami mengikuti jalannya upacara dengan mengenakan pakaian musim dingin, sedangkan matahari bersinar dengan cerah, kami merasa gelisah ‘seolah-olah dimasak dalam kapal uap’ dan semua orang merasa pusing dan kepanasan. Upacarapun berakhir, aku tidak memahami setengah dari pidato tersebut. Aku memahami hanya setengah, atau bahkan lebih sedikit dari apa yang dikatakan di upacara tersebut.
Pada pukul lima sore, rapat anggota pertama berlangsung di tempat yang sama. Ada beberapa laporan hasil kongres ketiga dan laporan lainnya. Kemudian, beberapa proposal dikumpulkan dari masing-masing delegasi. Sangat menyenangkan bagi kami bahwa bahasa Inggris terpilih sebagai bahasa resmi, namun demikian hal itu tidaklah mudah. Sesungguhnya, dalam hal ini aku lebih banyak menjadi bisu dan tuli. Di beberapa pidato dalam bahasa Inggris, ada beberapa yang aku tidak bisa mengerti maksud yang disampaikan.
Keterangan:
1. Bundaran di depan Societet “De Harmonie”
2. Istana Gubernur Jenderal
3. Kantor telepon, Decapark
4. Frombergpark
5. Kantor KPM (sekarang gedung Pertamina)
6. Willemskerk (sekarang Gereja Immanuel)
7. Gemeentehuis
8. Gouverneurswoning
9. Museum
10. De Bouwploeg (sekarang “Pasar Boplo”)
11. Netherlandsch-Indisch Kunstkring
12. Plantsoen van Heutz Boulevard
13. St. Carolus (Rumah Sakit Katholik)
14. Geneeskundige Hogeschool (Sekolah Kedokteran Tinggi)
15. CBZ (sekarang Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo)
16. Pabrik candu (sekarang Universitas Indonesia)
17. Rumah Sakit Tjikini
18. Kolam Renang Batavia (Kolam Renang Cikini)
19. Kebun Tanaman dan Kebun Binatang (sekarang Taman Ismail Marzuki)
20. Gedung Volksraad
21. Militaire Societet Concordia
22. Departement van Financien, yang disebut “Grote” atau “Witte Huis”
23. Patung Jan Pieterszoon Coen
24. Hooggerrechtshof
25. Loge “De Ster van het Oosten”
26. Gereja Katholik (sekarang Gereja Kathedral)
27. Tanda Peringatan Mayor Jenderal Michiels
28. Tugu Peringatan Pertempuran Waterloo
29. Monumen Aceh di Wilhelminapark
30. Citadel Frederik Hendrik
31. Rechtshoogeschool te Batavia (sekarang Departemen Pertahanan dan Keamanan)*
32. Hotel Koningsplein*
33. Konsulat Jepang*
Digambar pada: Vries, J. J. De (ed.), Jaarboek van Batavia en omstreken 1927, Kolff, Batavia 1927
Setelah rapat anggota, pada pukul sembilan malam ada jamuan makan malam di Kediaman Gubernur Jenderal. Aku pergi dengan isteriku ditemani Tuan Miyake, seorang Konsul Jenderal. Setelah sampai di pintu masuk aula dan berjalan di atas permadani, kami memasuki aula besar berlantai batu pualam seputih salju dengan cahaya lampu yang menyilaukan mata. Langit-langit berbentuk bundar dengan beberapa tiang berjejer di sisi kiri dan kanan aula. Di bagian depan terdapat sebuah potret Ratu Belanda ditempatkan di atas tempat duduk raja.
Tidak seperti Gubernur Jenderal di Taiwan[66], Gubernur Jenderal di pulau Djawa dikenal dengan sebutan Ratu yang dipanggil Paduka Yang Mulia. Kedudukannya ada diperingkat kedua seperti Ratu di Netherland dan lebih tinggi dibandingkan Putri Mahkota. Bahkan ketika Puteri datang, Gubernur tidak pergi untuk menemuinya. Selama kunjungan kehormatan raja masih berlangsung, semua orang mengenakan jas dilapisi banyak perhiasan. Beberapa saat kemudian, Gubernur Jenderal dan Nyonya tiba dengan dikawal para pengawal, sementara pemain musik orang-orang Belanda memainkan lagu kebangsaannya. Beberapa yang hadir ada yang berdiri atau duduk di kursi kerajaan, para anggota kongres dan warga negara dari kota, yang secara khusus diundang malam itu, bercampur baur menjadi satu. Mereka duduk, berdiri, dan bercakap-cakap satu sama lain. Minuman dingin, roti lapis dan kue dihidangkan untuk para tamu. Sementara itu, para tamu penting diperkenalkan ke Gubernur Jenderal satu persatu dan diberi kesempatan untuk berbicara beberapa menit. Setelah diperkenalkan ke Gubernur Jenderal, aku mendapat kesempatan untuk bertemu Tuan Stautjesdijk, Wakil Gubernur. Ia berbicara dalam bahasa Jepang secara perlahan-lahan dan bercerita bahwa ia pernah ke Jepang satu kali selama satu setengah tahun. Baginya tidak mudah berbahasa Jepang, karena itulah ia banyak membaca surat kabar dan literatur. Hal itu membuat aku merasa rindu untuk mendengar bahasa Jepang yang diucapkan oleh orang asing di negeri asing.
Pukul sebelas, Gubernur Jenderal beristirahat, para tamu pun meninggalkan tempat itu, sambil menyeka keringat mereka. “Sangat tidak nyaman berpakaian musim dingin di musim panas!” Sambil berkata, semua orang mulai menanggalkan jaket mereka.
Kami, para anggota dari Jepang, sama sekali tidak merasa nyaman di daerah musim panas seperti di sini, kesulitan banyak dijumpai dalam berbahasa dan kebiasaan sehari-hari. Panitia yang mengatur jalannya acara, memperlakukan sebanyak lebih dari 150 tamu yang kebanyakan dari mereka berasal dari tingkat sosial yang tinggi. Pengaturannya tidaklah mudah, sehingga beberapa acara ada yang tidak memperhatikan, seperti berbicara sambil berbisik tetapi aku tak dapat berbuat banyak ataupun mengeluh. Terlihat Dr. Stehn, panitia penyelenggara yang bertanggung-jawab mengatur para tamu dan para stafnya yang sedang bekerja, hingga keringat membasahi tubuhnya karena panas. Kadang-kadang bila hanya berdiam diri saja tidak menyenangkan dan membuat permintaan dari waktu ke waktu akan membuat berbagai hal lebih lancar. Kami menyatakan terima kasih untuk keramahtamahan orang-orang Belanda yang berusaha keras menjamu kami selama tinggal disini, dan juga kepada Dr. Hatai dan Dr. Kato yang bertindak sebagai koordinator pelaksana dan para tamu atas usaha mereka.
Berkunjung ke Buitenzorg - ditulis di Bandoeng
Pada tanggal 18 Mei[67] kami berangkat ke Bandoeng pada pukul delapan pagi dari stasiun Weltevreden[68] menggunakan kereta khusus digunakan untuk acara ini. Udara di kota Batavia sangat panas, jadi hanya digunakan untuk acara pembukaan sedangkan rapat anggota diadakan di Bandoeng yang berudara dingin. Dalam perjalanan, kami berhenti di Buitenzorg, tepatnya di Kebun Botani. Tempat ini sangat terkenal dan dianggap sebagai tempat terbaik di dunia. Di Belanda, Buitenzorg berarti “desa yang tenang”. Kemarin, ada rombongan perjalanan berkeliling kebun serta jamuan makan siang dan yang menjadi tuan rumahnya adalah walikota Buitenzorg. Hari ini, sekitar lima puluh ahli botani mengunjungi tempat pembibitan dan laboratorium.
Sekitar satu jam menuju Buitenzorg dengan menggunakan kereta api dan beberapa bus sedang menunggu di depan stasiun. Para peserta dibawa menuju pintu masuk Kebun Botani dan dibagi menjadi tiga kelompok sesuai bidang mereka. Pemandu ditugaskan ke masing-masing kelompok sebelum mereka mulai mencari bus masing-masing. Hampir seperti ziarah, kami dipimpin dengan menggunakan bendera. Seperti halnya wisatawan dari desa, kunjungan pertama kami adalah museum zoologi[69].
Buitenzorg 1929
Digambar pada: Fourth Pacific Science Congres Java 1929 – Excursion Guide
|
Keterangan
1. Departemen Pertanian dan Perdagangan
a. Kantor Pelayanan Kehutanan
Kantor Pelayanan Dokter Hewan
Divisi Perdagangan
2. Kebun Botani
a. Istana Gubernur-Jenderal
b. Rumah Direktur
c. Laboratorium Direktur
d. Laboratorium Treub
e. Laboratorium Fisika-Kimia
f. Museum Zoologi
g. Herbarium dan Museum Sistem Botani
3. Divisi Perdagangan
a. Laboratorium Analitik
4. Museum dan Kantor Pelayanan Ekonomi Botani
5. Pusat Penelitian Pertanian Umum
6. Institut Penyakit Tumbuhan
7. Kebun Persemaian
8/ Sekolah Pertanian Kedua
9/ Laboratorium Perikanan
10/ Institut Penelitian Kehutanan
11/ Institut Kedokteran Hewan
12/ Sekolah Kedokteran Hewan Belanda-Hindia
13/ Pusat Penelitian Pembiakan Unggas
14/ Pusat Penelitian Teh Umum
15/ Pusat Penelitian Karet
16/ Kebun Penelitian Karet
17/ Stasiun Kereta Api
18/ Hotel Dibbert
19/ Hotel Belle View
Anggota panitia dan staf memberi kami penjelasan yang terperinci. Walaupun koleksi-koleksinya tidaklah besar, namun ada beberapa spesimen yang menarik. Setelah itu, para ilmuwan handal itu masuk ke dalam bus tanpa memperhatikan bus yang sebelumnya mereka tumpangi, mereka lupa dengan kelompok yang telah dialokasikan dan tidak tahu kemana bus akan pergi. Bus yang aku tumpangi menuju gudang spesimen tumbuh-tumbuhan bermanfaat[70] yangmemiliki beberapa ratus spesimen buah-buahan, berbagai jenis kayu, serat, teh, kopi, dan masih banyak lagi. Ketika kami kembali ke bus, tampak wajah yang berbeda di tempat dudukku. Ketika anggota panitia bertanya kepada para peserta dimana akan berkumpul? menarik, dan kita semua berkata, “Di manapun!”, sebab kami sudah merasa sangat kepanasan dan lelah. Kami dibawa ke laboratorium di Poesat Penelitian Karet, yang dipimpin oleh Dr. de Vries. Mereka menunjukkan kepada kami kebun karet untuk penelitian, koleksi tersusun sangat rapi, keseluruhan proses penggumpalan untuk pemurnian karet, dan uji coba kekenyalan. Itu adalah kunjungan terakhir kami sampai akhirnya acara makan siang. Setelah acara makan siang di depan gedung pertemuan tempat kediaman Gubernur Jenderal, kami meninggalkan kota pada pukul dua di siang hari yang panas.
Udara panas menyebabkan rasa lelah membuat kerja otakku berkurang setengah sehingga aku tidak dapat menulis dan berpikir secara sistematis. Aku hanya dapat memperbaiki tulisan cakar ayamku saat aku melihat atau mendengar penjelasan waktu kunjungan secara acak. Hal yang sama terjadi dengan peserta yang lainnya seperti: lupa berbagai hal, meninggalkan buku, topi dan barang pribadi di suatu tempat adalah kebiasaan sehari-hari. Peristiwa itu dapat diuraikan dengan kata-kata lucu seperti, ton-chin-kan, ton-chiki, ton-ma, an-pong-tan, itu adalah kata-kata gurauan orang Jepang atau Cina untuk menyindir seseorang. Menurut Tuan Tokieda[71], situasi seperti itu selalu terjadi karena kami seperti “orang bisu yang direbus di dalam ketel besar[72] ”.
Setelah tujuh jam di dalam kereta yang panas[73] dan berdebu,akhirnya kami tiba di Bandoeng yang berudara dingin, ini seperti jaket putih abu-abu milik kami. Hotel tempat kami menginap adalah Hotel Preanger[74].
Lokasi Bandoeng terletak pada ketinggian 700m di atas permukaan laut, yang dikelilingi oleh pegunungan. Kota ini adalah pusat militer Belanda di Hindia Timur dan Kementerian Pertahanan, yang meliputi Kantor Staf, pabrik dan bandar udara, seperti halnya universitas[75] dan sekolah-sekolah tinggi. Bandoeng adalah kota yang sehat, tempat yang kering dan dingin bebas dari penyakit seperti malaria.
Pesawat Udara - ditulis di Bandoeng
Sora-Tobi-No-Karakuri, itu bukan kata Melayu, yang artinya sebuah mesin yang dapat terbang di angkasa (a-tricky-machine-to-fly-in-the-sky), dengan kata lain, pesawat udara.
Tanggal 19 adalah hari minggu dan tidak ada pertemuan. Ada suatu perjamuan yang diorganisir oleh Asosiasi Ilmu Pengetahuan Kerajaan Hindia Belanda bagi yang tertarik untuk melihat letupan kawah gunung api Tangkoeban Praoe, yang berjarak sekitar 20 km dari Bandoeng, menggunakan pesawat udara. Walaupun mereka berkata arus udara di sekitar gunung api stabil dan penerbangannya aman, tidak banyak peserta yang ikut. Setiap pergi untuk melihat tempat yang berbahaya sering dibandingkan dengan perjalanan ke neraka dengan perahu yang penuh resiko, orang-orang takut akan dibakar seperti biskuit beras, atau mendidih dalam keadaan hidup.
Pada pukul delapan lebih lima belas menit, aku telah memesan penerbangan ke lima dan aku dijemput dengan bis dari hotel, duapuluh menit sebelum keberangkatan. Di bis, ada sepuluh ‘calon-biskuit’ termasuk tiga wanita. Hanya dua orang Jepang, Dr. Niomi[76], dari Manchuria Railway, dan diriku, dan yang lainnya adalah orang-orang Inggris, Amerika, Perancis dan Belanda. Kami tiba di Pelabuhan Udara Andir[77] setelah sepuluh menit perjalanan. Pesawat terbangnya merupakan Fokker jenis baru dengan tiga buah mesin jet dari Perusahaan Penerbangan Hindia Timur[78]. Di dalam gedung terdapat orang-orang yang telah terbang dan mereka yang akan terbang. Segera kelompok yang berjumlah sepuluh orang disiapkan untuk penerbangan yang kelima dan telah mengambil tempat duduk mereka, pesawat mulai terbang. Pesawat terasa ngeri selama melaju di landasan tetapi menjadi sungguh menenangkan ketika roda meninggalkan landasan. Dengan mulus, pesawat naik lebih tinggi dan semakin tinggi, sementara bayangannya di landasan menjadi kecil dan lebih kecil. Kami terbang di atas hamparan padi dan perkebunan kelapa menyerupai bintik biru, hijau dan kuning yang mewarnai kartu. Ketika kami naik di atas awan, bayangan dari pesawat memantul pada lingkaran pelangi yang indah[79]. Kami tidak mampu berbicara karena suara gaduh dari mesin, kami berkomunikasi hanya dengan menunjuk apa yang kami lihat.
Dalam sepuluh menit, kami sampai di atas Tangkoeban Praoe, pada ketinggian 2,076m. Ada dua kawah yang telah berhenti aktivitasnya sejak tahun 1910 dan di dalamnya ada genangan yang mengeluarkan uap belerang. Kawah timur dan kawah barat disebut Kawah Ratoe (raja kawah) dan Kawah Oepas (kawah beracun)[80]. Kawah-kawah itu bersinar berwarna biru laut di bawah matahari pagi dan batas luar mereka tertutup oleh tumbuh-tumbuhan liar lebat yang nampak hitam. Setelah berputar dua kali di sekitar atas gunung api, pesawat terbang memperlambat putaran motornya dan turun ke arah pelabuhan udara. Sungguh menenangkan dan tidak ada getaran. Tamasya kami dari neraka berakhir dengan aman. Kami mengirim kelompok yang berikutnya dengan mengatakan, “Jangan khawatir! Anda tidak akan menjadi biskuit”.
Pada malam hari, Tuan Shigeru Sato yang tinggal di kota ini mengajak berkeliling di sekitar kota. Ia adalah seorang pelaku bisnis yang sukses, hampir menguasai transportasi di pulau Djawa dengan memiliki 24 bis, beberapa mobil dan mengambil penumpang dari stasiun kereta api. Dr. Matsumura[81], seorang ahli serangga dari Sapporo, atau Tuan Matsumura[82], ahli antropologi dari Tokyo, dan diriku bersama-sama didalam mobil, dengan Dr. Inada[83] dan yang lainnya. Kami menuju Observatorium Astronomi di Lembang yang berjarak sepuluh kilometer. Tempatnya berada di ketinggian 2.000m di atas permukaan laut dan dari sana keseluruhan kota Bandoeng bisa dilihat. Setelah melihat kelip lampu kota yang seperti bintang setelah matahari terbenam, kami kembali pulang. Angin sore menjadi sangat dingin membuat Tuan Matsumura menggigil. Ia pasti tidak pernah berpikir menjadi beku di daerah beriklim panas.
Kongres - ditulis di Bandoeng
Kongres diadakan di Sekolah Tinggi Teknik Bandoeng. Bangunan yang dibangun baru-baru ini mempunyai gaya Sumatra dengan atap membengkok, serupa dengan tempat ibadah Shinto. Bunga Bougainvillea ungu tumbuh pada kolom batu di pintu masuk dan lis atap tertutup oleh warna biru ungu pagi[84] (purple-blue morning glory).
Tempat diadakannya Kongres Ilmu Pengetahuan Pasifik yang keempat, Sekolah Tinggi Teknik Bandoeng.
Semua sesi dijadwalkan tiap hari mulai tanggal 18, dari pukuldelapan pagi sampai tengah hari. Dibagi menjadi tiga kategori besar, ilmu eksakta, ilmu biologi dan ilmu pertanian, yang dibagi lagi ke dalam bagian yang lebih kecil. Ilmu eksakta meliputi geografi, geologi, volkanologi, ilmu gempa, meteorologi, oceanologi, radiologi dan yang lain-lainnya. Biologi meliputi zoologi, botani, ilmu antropologi, ilmu perikanan, dan ilmu-ilmu alam. Ilmu pertanian meliputi pertanian, ilmu tanah, kehutanan dan seterusnya. Tergantung dari topik, sesi dilakukan dengan bebas pada setiap bagian atau dengan kombinasi berbagai bagian. Sebagai contoh, topik mengenai bukit karang dibahas oleh ahli kelautan, geologi, ahli ilmu fisika dan ahli ilmu biologi.
Sesi-sesi dilaksanakan serentak dalam ruang terpisah. Sesi dipimpin seorang ketua dan seorang penyusun yang bertugas menandai catatan yang disampaikan. Di samping pembacaan dokumen yang disampaikan, sesi meliputi presentasi dan diskusi hasil riset yang dilaksanakan pada pokok yang telah ditetapkan. Anggota dapat menghadiri sesi dan mendiskusikannya dan bebas memilih topik yang menarik perhatian mereka. Pada kesempatan selanjutnya, resolusi dikumpulkan dan dibawa pada rapat umum anggota.
Pertama, aku bergabung pada diskusi tentang ‘Permasalahan Krakatau’ yang dibawakan oleh Dr. Van Leeuwen, aku tertarik setelah mengikuti karya wisata itu. Topiknya adalah bagaimana kehidupan organisme yang telah lenyap setelah letusan. Seseorang mengatakan bahwa organisme tersebut mati ketika terbakar lalu menjadi abu dan batu berjatuhan, yang lain mengatakan bahwa debu dan batu menjadi dingin setelah organisme terlempar ke atas setinggi 50 km, yang lain mengatakan bahwa organisme telah terbunuh ketika mereka tertutup oleh lapisan kayu keras setebal 50 m. Ada berbagai pendapat tetapi, waktunya telah habis dan sesi telah ditutup, serta dilanjutkan pada kesempatan yang berikutnya.
Di bagian pertanian, persediaan beras di sekitar pantai Pasifik sedang menjadi suatu masalah yang serius dan disana terdapat cukup banyak dokumen tentang produksi beras yang ditinjau dari sisi pertanian dan ekonomi. Beberapa diantaranya menunjuk juga masalah populasi. Aku pikir aku tidak mungkin melewati sesi ini, karena ‘beras adalah sumber kehidupan’. Tetapi sayang, aku harus keluar ruangan ketika peserta dari Perancis Indo-Cina melalaikan aturan dan mulai membaca dalam bahasa Perancis. Aku pindah ke presentasi Dr. Miyoshi tentang hasil alam. Ia menunjukkan dengan menggunakan slide tentang sumber daya apa yang perlu dilindungi di Jepang secara satu persatu. Ada banyak sumber daya yang harus dilindungi sebagai sesuatu yang alami dan mendapat berbagai komentar dari orang-orang dari berbagai negara. Aku masih dapat menulis banyak tentang kongres tetapi aku akan berhenti disini.
Peraturan dalam kongres adalah menggunakan bahasa Inggris. Yang membuat aku kecewa adalah bahasa Inggris yang aku ucapkan dan pelajari di sekolah sejak aku kecil, ternyata hanya sebatas ‘sebuah bahasa dalam kelas’. Suatu hal yang baik jika aku memahami separuhnya. Ada beberapa pengajar yang aku tidak pahami apa yang dibicarakan, atau tidak mengenali sama sekali apa yang disampaikan dalam bahasa Inggris sampai akhir kuliah. Ketika aku menceritakan kepada Dr. Hatai bahwa ucapan dalam bahasa Inggris terlalu sulit untuk aku pahami, ia menjawab bahwa ia juga tidak memahami semuanya, dan bahasa Inggris yang diucapkan oleh peserta yang bukan pembicara (yaitu, bukan pembicara dari Inggris atau Amerika) sungguh aneh dan tidak mudah dipahami[85]. Aku merasa sedikit lega bahwa hal itu tidak berkaitan dengan kemampuan pendengaranku. Tuan Matsumura berkata, “Bahkan dalam bahasa Jepang, diskusi sebuah topik pada bidang berbeda yang tidak terkenal tidaklah dapat dimengerti bukan? Tidaklah mudah, bahkan untuk orang Inggris dan orang Amerika, jika seseorang berbicara dengan cepat dengan aksen dan pengucapan kata-kata yang kurang benar.” Aku setuju, tetapi aku merasa seperti orang ‘bisu’ setiap harinya. Tidak masalah, walaupun, dengan dokumen sepanjang yang mereka cetak.
Setiap hari kami belajar dan membahas dalam sesi dari berbagai bidang dan sub-bidang di pagi hari. Hari terakhir, tanggal 25 Mei, rapat anggota terakhir diselengarakan di aula mulai jam sembilan. Setelah pengantarnya disampaikan oleh Dr..de Vries, duapuluh delapan resolusi dari hasil berbagai bidang telah dilaporkan oleh Dr. Went[86]. Mereka akan mengirimkan pada masing-masing dewan ilmu pengetahuan negara dan kantor administrasi sebagai resolusi dari peserta Kongres Ilmu Pengetahuan Pasifik. Sesudah itu, keanggotaan panitia kongres berikutnya dipilih dan diputuskan tempat konferensi berikutnya. Kongres ke-5 dan ke-6 berturut-turut akan dilaksanakan di Kanada dan Perancis Indo-Cina. Akhirnya, wakil dari masing-masing negeri mengucapkan terima kasih mereka untuk usaha dan kebaikan dari pemerintah Belanda dan pulau Djawa, juga keramahtamahan dari walikota Batavia, Buitenzorg, Bandoeng dan kota lainnya serta anggota kongres lain yang menjadikan kongres sukses dilaksanakan dan penuh keberhasilan. Kongres Ilmu Pengetahuan Pasifik yang keempat berakhir dengan sukses.
Sebuah kongres ilmiah yang menyediakan kesempatan belajar tentang situasi ilmu pengetahuan di negara-negara lain selain yang telah dimiliki dan kesempatan untuk bertemu ilmuwan terkenal, sebagai tambahan terhadap detail dari penelitian, sehingga resolusi tidak diragukan mempunyai dampak yang pantas dipertimbangkan. Itu penting bagi ilmuwan untuk dapat memperoleh pengetahuan lebih luas dan mengembangkannya kembali. Juga, konferensi ilmiah memperlancar hubungan internasional.
Pesta Besar - ditulis di Bandoeng
Dalam Kongres ini, pemerintah Belanda mengeluarkan dana dalam jumlah besar, dan Gubernur Jenderal seperti halnya pejabat, belum lagi ketua dan panitia anggota, memberi kami keramahtamahan. Ada kasus kecil seperti kesalahpahaman, tapi mereka menganggap sebagai hal sepele yang akan terjadi saat orang-orang menjadi tuan rumah.
Di Bandoeng, Walikota mengundang anggota klab Concordia[87], untuk Pesta Besar di sore hari tanggal 21. Wanita mengenakan decollete dan lelaki mengenakan jas berekor. Sungguh aneh lelaki mengenakan jas wol berwarna gelap sementara wanita berpakaian setengah telanjang. Aku merasa tampan dan nyaman, bagaimanapun juga, aku telah mengantisipasi apa yang akan terjadi dan membawa montsuki[88] khas negara Jepang.
Acara pertama adalah sebuah orkestra yang diorganisir oleh anggota kongres yang disambut dengan baik. Yang kedua adalah pantomime, berjudul “Kekuatan Cinta” yang diambil dari salah satu bab cerita Mahabarata, legenda orang India. Gadis Djawa[89] yang cantik muncul[90]. Orang di daerah ini adalah orang Soenda, merupakan suku terpandai diantara banyak penduduk, dengan sosok badan yang ideal dan penampilan yang hidup dan disana banyak wanita cantik dengan kulit yang putih dan gaya yang indah.
Tidak dapat dibandingkan dengan beberapa suku lain yang kelihatan seperti ukiran kayu tak berekspresi yang dimasukan kedalam api sejak zaman lampau. Mereka nampak anggun di atas panggung, lambaian pakaian berwarna-warni dengan tepian ketat dan selendang panjang, aku terperangah oleh kemiripan antara mereka dan orang-orang kami. “A traveller in a strange country feels an abnormal gut-tearing pain..”[91]
Walaupun pakaianku berbahan dingin, tetapi aku mulai berkeringat sebab orang-orang yang melihat seragam resmiku untuk pertama kali terus melontarkan berbagai pertanyaan. Haori dan shirushi-banten[92] dari Jepang sekarang ini sedang diminati disini. Sungguh aneh melihat gadis remaja berjalan di jalan dengan bangga mengenakan merk pakaian pada punggung mereka, “Shin-Yoshihara”
Barisan Itik - ditulis di Bandoeng[93].
Sesi dimulai delapan pagi dan undangan pada malam hari sebelumnya membuat orang-orang kurang bersemangat dan membisu karena tidak dapat istirahat. Pada saat libur dari kegiatan kongres, kami mengunjungi kota beriklim panas, Garoet, dibantu oleh Tuan Suganuma dari perusahaan Tuan Sato. Untuk sampai ke lokasi kami menempuh jarak kira-kira 17 mil, mobil kami dipacu dengan cepat seperti sebuah anak panah di atas jalan yang mulus. Ada banyak pohon bambu di sepanjang jalan raya yang bermanfaat dan dibutuhkan oleh orang-orang desa terutama untuk bahan bangunan. Mereka membuat atap rumah, pilar bangunan dari bambu, dinding dan lantai dibuat dengan menenun sabut bambu[94]. Bambu muda dapat dimakan, dan sarung pelindungnya dapat digunakan untuk membungkus berbagai hal dan sebagai alas untuk meletakan makanan. Yang lebih menarik lagi adalah membuat botol berukuran besar dengan lingkar kira-kira 50 cm dan panjang kira-kira 200 cm dengan cara membuat lubang ditengahnya, itu berguna untuk membawa air dari gunung.
Kami keluar dari jalur utama untuk mampir sebentar ke sebuah danau di Bagendit. Di pulau Djawa, air berwarna merah keruh jauh dari ‘air bersih’ walaupun ‘pegunungan berwarna ungu’[95]. Luar biasa, air di sekitar Garoet sungguh bersih dan di sana banyak kolam untuk berternak ikan di bawah keteduhan pohon palem. Ketika mobil kami mendekati danau, orang-orang yang mendengar suara mobil dengan seketika membunyikan batang bambu mereka, pada sebuah alat yang terbuat dari bambu pada setiap tangannya. Dua batang bambu, satu pendek dan yang satu panjang, diayunkan dengan sebuah tongkat bambu tipis sehingga menimbulkan bunyi berderik-derik sangat serasi ketika diguncangkan. Alat ini disebut angkloeng. Nada dimainkan dengan sembilan potongan dalam setiap perangkat[96]. Masing-masing orang memegang satu dan mereka mengguncangkan alat mereka sebagai alternatif main musik. Anak-anak berusia 5 atau 6 tahun duduk dan memainkan musik di pinggir danau di bawah naungan pohon tjaringin[97]. Ada yang bertelanjang dada atau berpakaian kemeja, mereka menari secara sembrono mengikuti musik.
Mereka menempatkan papan di atas dua sampan[98] secara paralel dan menaruh kursi diatasnya di bawah atap bambu, sehingga orang bisa duduk di atas air. Dua anak perempuan berdiri di depan dan di belakang perahu dan mengendarainya dengan dayung. Suara angkloeng berderik-derik di atas permukaan air dan bunyinya serasi membuat pendengarnya hanyut ke alam mimpi.
Kota Garoet tidak jauh dari danau ini. Dalam perjalanan ini, kami melihat sesuatu yang menarik, sebuah barisan itik. Menurut mereka ada sedikitnya lima puluh atau enam puluh bahkan beratus-ratus itik dalam satu barisan, diatur oleh seorang laki-laki. Itik bepergian dengan cara ini siang dan malam. Hal itu menarik perhatian bahwa mereka berjalan kaki sekitar 240 km dari Garoet ke Batavia dengan gerakan yang sangat lambat. Penggembala itikpun merasa senang karena ia tidak perlu memberi makan mereka, sebab mereka dapat memasuki genangan dan lahan padi di jalan dan mencari makanan sendiri. Ketika mereka lelah, mereka istirahat dan tidur di sana-sini. Saat mereka bepergian dengan cara ini selama beberapa hari, mereka bisa menjadi gemuk karena mendapat makanan gratis dari ladang orang, dan dapat dijual dengan harga yang pantas saat mereka tiba di Batavia. Apakah ini suatu perdagangan yang mudah?
Kami tiba di Hotel Ngamplang yang berdiri di atas bukit tidak jauh dari kota Garoet. Di luar dataran hijau adalah gunung Goentoer, gunung api yang meletus 80 tahun yang lalu, dan tepat dibawahnya adalah sumber air panas yang terkenal dengan sebutan Tjipanas. Angin sepoi-sepoi yang dingin menyentuh dedaunan[99], bulan bersinar terang dan serangga menyanyikan nyanyian mereka. Seperti musim gugur di negeri sendiri. Temperatur ruangan menunjukkan 67 derajat fahrenheit. Ini adalah daerah tropis dengan kesejukan dan hawa dinginnya sungguh di luar imajinasi kami. Setelah beristirahat, kami kembali ke Bandoeng hari berikutnya.
Kebun Botani di dataran tinggi Tjibodas - ditulis di Bandoeng
Kongres berakhir pada tanggal 25 Mei, dan pada malam yang sama semua anggota kongres diundang ke Hotel Preanger. Pada pukul 9 tepat meja perjamuan telah siap seluruhnya dan pada acara makan malam tersebut ketua memberi sambutannya kepada para anggota kemudian para wakil negara-negara anggota menyatakan rasa terima kasih mereka.
Pemimpin kami, Dr. Hatai berbicara atas nama negara-negara yang ada di pesisir pantai Pasifik bagian Barat. Aku merasa sedikit heran ketika Jepang diminta untuk mewakili negara-negara Barat, padahal negara kami adalah negara matahari terbit. Seorang anggota berkata bahwa hal itu tidaklah mengejutkan karena cahaya matahari yang datang dari arah Utara akan menyinari negara di Selatan. Meski cahaya matahari datang dari Utara atau dari Selatan, kita adalah sebuah negara di Barat yang memiliki keterkaitan dengan berbagai hal yang ada di negara yang terletak di pantai Pasifik[100]. Makan malam berakhir pada pukul satu pagi.
Sebelum fajar esok harinya, aku bangun pada pukul lima dan bersiap-siap untuk karyawisata ke Kebun Botani di dataran tinggi Tjibodas. Sehubungan dengan terbatasnya fasilitas akomodasi di sana, maka jumlah peserta dibatasi hanya lima belas orang saja. Yang menjadi pemimpin adalah Dr. van Leeuwen, dan instruktur kami adalah Dr. Dammerman, seorang ahli zoologi. Orang Jepang yang ikut karyawisata hanya tiga orang yaitu Prof. Miyoshi, aku dan Tuan Emoto. Setelah bepergian selama dua jam dengan menggunakan kereta api, kelompok kami yang terdiri dari lima belas orang ini dibawa dengan menggunakan mobil dari stasiun Tjiandjoer ke Tjipanas, dan kami berdesakan di dalam mobil selama satu jam. Selanjutnya kami melalui jalan perbukitan dan tibalah kami di Kebun Botani di dataran tinggi Tjibodas. Prof. Miyoshi menaiki sedan dengan empat kursi sedangkan yang lainnya menunggang kuda poni.
Karyawisata di Tjibodas.
Kebun Botani ini dibuka pada tahun 1866 sebagai cabang dari Kebun Botani Buitenzorg. Karena kebun botani ini terletak sekitar 4.000 kaki di atas permukaan laut, di kaki gunung Pangrango[101], maka tanaman-tanaman dari daerah beriklim sedang dapat tumbuh dengan baik. Meskipun agak primitif, di kebun botani ini terdapat sebuah pusat percobaan sehingga seseorang dapat tinggal dan belajar di sana. Area di bagian dalam Kebun Botani ini dirawat dengan sangat baik dan koleksi tanamannya yang dikumpulkan dari berbagai negara tumbuh dengan baik. Sesungguhnya area kebun pada awalnya dikenal sebagai sebuah hutan alami yang luasnya lebih dari 1.000 hektar are yang membentang dari bagian belakang pusat percobaan sampai ke gunung Pangrango. Tempat ini juga merupakan tempat yang dilindungi sepenuhnya sebagai monumen alami. Aku ingin mencoba memelihara dan melindungi sebagian hutan-hutan alami di Jepang dengan cara yang sama sehingga kita dapat melakukan riset di sana[102].
Tumbuh-tumbuhan di hutan hujan sangatlah padat sehingga di dalamnya hampir gelap walaupun di siang hari. Bila memandang ke atas, kita hanya dapat melihat setitik kecil dari langit biru diantara cabang-cabang pohon yang tinggi. Di hutan itu ada banyak jalan setapak dengan pohon-pohon di kedua sisi jalannya diberi label yang ditulisi nomor dan identitas dari pohon. Pada umumnya demi kepentingan pemeliharaan dan perlindungan secara keseluruhan maka pengunjung dilarang mengambil tanaman untuk dikoleksi[103]. Pada kesempatan ini tidak ada pembatasan bahkan kami ditemani oleh kuli pengangkut barang. Asisten di pusat percobaan mengetahui nama-nama ilmiah dengan baik sekali dan ia pun dengan ramah membantu kami mengumpulkan spesimen. Malam harinya kami bermalam di pusat percobaan.
Di dalam pusat percobaan hanya tersedia empat kamar tidur untuk delapan orang sehingga pengunjung lainnya tidur di dalam laboratorium dengan menggunakan tempat tidur yang biasa digunakan untuk di lapangan. Suasana saat itu sama dengan suasana pada waktu kami berkunjung ke pusat percobaan angkatan laut di Misaki[104] ketika masih sekolah dulu. Karena masih terlalu awal untuk tidur, kita berkumpul dan bercakap-cakap di bawah lampu yang suram. Aku khawatir kalau aku telah berulang-kali menyinggung tentang dinginnya daerah yang beriklim panas, tetapi turunnya temperatur udara sangat terasa sekali pada malam harinya. Ketika kami pergi ke luar, bintang-bintang di langit yang bersih berkelip dengan indahnya, dan nafas kami mengeluarkan asap putih di udara seperti halnya musim dingin di negara kami. Malam itu sangat dingin sehingga semua orang tak mau berlama-lama di luar dan segera kembali masuk ke dalam pusat percobaan.
Aku sekamar dengan Prof. Miyoshi. Di kamar itu hanya ada satu tempat tidur untuk dua orang. Aku merasa asing harus berbagi tempat tidur dengan Prof. Miyoshi orang yang telah membimbingku dengan sangat baik sejak aku masih kuliah di universitas. Aku berjongkok di sudut kamar karena aku khawatir akan menendang perutnya saat aku tidur. Ada selimut di masing-masing sisi tempat tidur. Karena Prof. Miyoshi sudah tua, aku memberinya selimut yang lebih tebal dan mengambil selimut yang lebih tipis untuk diriku. Selimut itu tidak hanya tipis tapi juga pendek, dan kakiku akan keluar jika aku menarik selimutku ke atas. Jika aku mendorongnya ke bawah maka bahuku tidak terselimuti. Oleh karena itu, aku mengenakan celana panjangku yang telah kubuka, menaruh jaketku di atas piyamaku lalu kututupi lagi dengan mantel mandiku dan aku meringkuk seperti seekor udang. Dengan demikian, aku berharap aku tidak akan mencelakai guruku. Temperatur udara turun sampai 50 derajat fahrenheit dan udara menjadi sangat dingin, tetapi semua orang sudah sangat lelah sehingga kami dengan mudah tertidur sampai pagi hari.
Kami bangun pada pukul enam pagi seperti biasanya. Semua orang menggigil dan menggosok-gosokkan tangan mereka. Selama sarapan, Mr. Baum[105] datang paling akhir. Sebelumnya, kami memberi dia nama julukan yaitu Tuan Laba-laba, karena ahli serangga ini selalu membawa jaring untuk menangkap serangga apapun yang dilihatnya. Seseorang di meja makan bertanya, “Apakah kamu melakukan sesuatu sebelum sarapan, Tuan Laba-laba ?” Ia menjawab, “Tidak juga, hanya sarapan biasa”. Banyak serangga sedang berloncatan di dalam botolnya.
Di pusat percobaan ini, ada sebuah buku tamu untuk para pengunjung dan kami dapat menemukan nama-nama ahli biologi yang terkenal dari seluruh penjuru dunia hampir di setiap halaman. Ketika aku sedang membacanya dengan teliti, aku menemukan tanda tangan Prof. Miyoshi sewaktu ia datang ke tempat ini dua puluh tahun yang lalu yaitu pada awal tahun 1907. Sambil mengingat-ingat kembali, Prof. Miyoshi berdiri sambil menatap buku itu. Baginya, hal itu membangkitkan sebuah kenangan lama.
Kami berkumpul kembali di hutan basah di belakang pusat percobaan itu setelah sarapan. Setelah kami memanjat sekitar dua jam, kami melihat tiga air terjun yang tingginya beberapa ratus kaki di atas sebuah karang. Air terjun yang di tengah yaitu Tjibeureum (air merah) adalah air terjun yang paling besar dengan ketinggian lebih dari 400 kaki, sedangkan yang dua lainnya di sisi kiri dan kanan masing-masing disebut Tjibodas (air putih) dan Tjikoendoel[106]. Nama tempat itu, Tjibodas, berasal dari air terjun itu. Airnya dingin dan bersih. Kemudian kami kembali ke pusat percobaan untuk makan siang lalu kemudian pergi meninggalkan Tjibodas dan tiba di Bandoeng pada malam harinya.
Noesa Kambangan - Tjilatjap
Pada karyawisata berikutnya, para anggota dibagi menjadi empat bidang, geologi, biologi, pertanian dan ilmu antropologi, dan masing-masing kelompok pergi ke arah yang berbeda. Kami menggunakan sistem “berpisah, bertemu di atas, berkumpul, kemudian menyebar”. Aku bergabung dengan kelompok biologi untuk mempelajari rawa-rawa di sekitar Tjilatjap yang terletak di pesisir selatan pernah kami kunjungi pada tanggal 28 Mei, sehari setelah kami kembali dari Tjibodas. Ketika jongos mengetuk pintu kamarku pada pukul empat pagi, aku terbangun dengan mata yang masih mengantuk. Kami berangkat dari stasiun Bandoeng pada pukul lima tiga puluh sebelum hari menjadi terang.
Kelompok kami terdiri dari dua puluh lima orang dan dipimpin oleh Dr. Beume[107], di dalamnya terdapat enam orang dari Timur yaitu Tuan Hatai, Tuan Hattori, Tuan Koriba, ditambah Tuan Tao[108], murid Dr. Hatai dari negeri Cina, dan aku sendiri. Setelah tiga jam di kereta dan menenmpuh jarak 130 km dengan naik mobil, pakaian putih menjadi hitam dan pakaian hitam memudar oleh kotoran dan debu. Tidak ada sesuatu yang istimewa yang dapat dilihat di jalan kecuali ladang-ladang pohon palem. Aku merasa lelah dan jemu dengan “kue-kue pasir” yang melayang di atas badanku yang lelah ini.
Siang harinya kami tiba di Kalipoetjang, sebuah desa yang berada di atas sungai, kemudian kami naik ke atas perahu dan menyusuri sungai menuju Tjilatjap. Di kedua sisi sungai terdapat hutan tumbuhan yang sangat lebat. Ketika perahu semakin jauh menyusuri sungai, ketinggian pohon-pohon itu semakin berkurang dan terlihat tanaman-tanamam rawa yang ganjil. Di atas perahu, kami menerima penjelasan tentang tanaman-tanaman itu tetapi sayangnya kami tidak dapat mendekati dan menyentuhnya. Bakau tumbuh dengan rapat. Pada cabang-cabangnya bergantungan banyak buah yang berbentuk tipis memanjang dan ujungnya tajam. Jika buah sudah masak dan jatuh, maka buah itu akan langsung jatuh ke dalam lumpur dan tunas-tunas bakau. Area pertumbuhan bakau bergerak maju secara berangsur-angsur dan sering menutupi keseluruhan permukaan sungai dengan cepat. Tumbuhan ini memang terkenal untuk alasan tersebut.
Lembah sungai terendah merupakan suatu rawa dekat pantai dan di sana terdapat perkampungan-perkampungan air baik perkampungan kecil dan besar yang dihuni oleh penduduk yang didalamnya terdapat antara sepuluh sampai seratus rumah. Para penduduk membangun rumah di bagian danau yang dangkal dan meletakkan papan di antara rumah-rumah itu sebagai papan lintas untuk datang dan pergi. Mereka bepergian dengan sampan menuju daratan. Mata pencaharian mereka adalah memancing ikan tetapi tidak sama dengan nelayan Jepang yang pergi ke lepas pantai. Mereka menangkap ikan dengan meletakkan perangkap yang terbuat dari anyaman bambu di bagian-bagian danau yang dangkal. Mereka pasti telah hidup dengan cara ini secara turun temurun, membangun rumah dan membentuk perkampungan di atas air Sungguh sayang, perahu kami tidak bisa lebih dekat dengan perkampungan itu sehingga kami hanya bisa melihat mereka dari kejauhan dan mendengar penjelasan yang disampaikan. Malam harinya, kami tiba di dermaga Tjilatjap. Di arah yang berlawanan dari pantai terdapat pulau Noesa Kambangan yaitu sebuah pulau yang digunakan sebagai lokasi sebuah penjara. Karena penjara tersebut dihuni oleh para narapidana yang kasusnya serius, maka orang-orang biasa tidak diijinkan untuk masuk. Namun pada kesempatan ini kami memperoleh ijin khusus. Keesokan harinya, kami mendarat di pulau yang dikelilingi air itu, dengan melewati air yang berada di antara laut dan sungai. Banyak narapidana yang sedang bekerja di sana. Kami datang ke pulau ini untuk melihat rafflesia[109], yaitu tumbuhan seperti parasit yang terkenal tumbuh di sana.
Bunga teratai raksasa.
Bunga Raflesia.
Para narapidana disuruh membuka jalan untuk kami dengan memotong semak dan rumput liar, lalu kami maju beberapa ratus meter menuju tempat di mana bunga rafflesia mekar. Suatu tumbuhan seperti parasit, yang tidak memiliki daun kecuali sebuah bunga yang besar muncul dari tanah. Bunga itu berdiameter 1,5 kaki, memiliki lima mahkota bunga, dan warnanya seperti susu coklat. Mahkota bunganya tebal menyerupai aruheitō[110] atau sebuah karya seni dari lilin. Jenis bunga yang sama terdapat di Sumatra memiliki ukuran diameter 3 kaki. Bunga itu dikenal sebagai bunga yang paling besar di dunia[111]. Di sini kami juga melihat tanaman semut (ant plant, Myrmecodia) yang terkenal itu. Ketika semut membuat sarang mereka di batang-batang pohon, mereka membawa benih dari tanah dan menaruhnya di permukaan sarang mereka. Kemudian benih-benih itu bertunas, tanaman tumbuh dan menghasilkan buah yang dapat menjadi makanan untuk serangga itu. Ketika itu adalah waktunya benih baru mulai tumbuh, terlihat seperti rambut sedang tumbuh dari sarang. Setelah melihat tumbuhan semut, kami pergi ke pesisir Selatan dengan mengendarai mobil (lori). Ombak yang ganas menghancurkan dan mencampakkan, awan-awan yang bergerak penuh semangat jauh tinggi di atas langit biru, tidak ada burung-burung yang terbang dan perahu di atas air. Laut Selatan terlihat membosankan.
Kota Tjilatjap - ditulis di Jogja
Pada malam yang sama, kami berjalan memasuki kota Tjilatjap. Walaupun Tjilatjap satu-satunya pelabuhan di sepanjang pantai Selatan pulau Djawa dan merupakan pelabuhan ekspor untuk kelapa dan gula, namun kota itu sangat sepi dan sama sekali tidak dikembangkan dengan baik. Kebetulan, kami menemukan sebuah toko milik orang Jepang di kota itu. Pemilik toko sangat senang dengan kehadiran tamu-tamu tak diduganya dan ia menunjukkan isi tokonya kepada kami. Kami mengetahui bahwa ada tiga orang Jepang yaitu Tuan Nishida, Tuan Kawai dan Tuan Nagata yang membuka toko di kota tersebut. Enam orang dari kami, termasuk Tuan Tao, mengunjungi mereka. Ketiga orang Jepang itu sangat senang bertemu kami dan mereka menawarkan diri untuk memandu kami berkeliling kota. Sesuai dengan permintaan kami, mereka membawa kami untuk melihat upacara perkawinan daerah setempat. Para tamu dihibur dengan pertunjukkan wayang kulit[112] yang digelar tidak jauh dari jalan. Setelah Tuan Nishida memperkenalkan kami, kami dengan tidak tahu malu masuk ke dalam dan kami melihat dua puluh atau tiga puluh tamu-tamu sedang berjudi di atas meja. Mereka berkata bahwa perjudian secara khusus diijinkan pada hari-hari perayaan seperti itu.
Kelompok karyawisata dan orang Jepang yang menetap di Tjilatjap.
Sementara itu pertunjukan wayang kulit terus berlangsung, tidak jauh dari lokasi perjudian. Seorang laki-laki duduk di bawah layar setinggi tiga kaki dan lebar delapan kaki dengan diterangi sebuah lampu yang digantung setinggi dua kaki. Ia menceriterakan sebuah cerita rakyat sambil melempar boneka-boneka yang terbuat dari kulit kerbau liar yang membentuk bayangan di layar. Para pemain musik duduk di belakang sang dalang. Para tamu undangan menyaksikan bayang-bayang boneka-boneka itu dari belakang layar, sedangkan orang-orang yang lewat menyaksikan manipulasi dari boneka-boneka itu dari depan layar. Tuan rumah merasa sangat senang melihat kedatangan para pengunjung yang bersikap tenang dari negeri Utara jauh, dan ia menyambut kami dengan ramah.
Setelah kami meninggalkan tempat perkawinan, kami pergi melihat sebuah upacara khitanan. Hampir serupa dengan upacara mencapai kedewasaan, acara tersebut merupakan perayaan untuk seorang anak laki-laki ketika ia telah tumbuh dewasa dan menjadi seorang muslim. Di sana ada tarian dan perjudian, selain itu juga ada kedai tempat berbelanja yang ramainya sama dengan kerumunan orang-orang di sekitar rumah itu.
Di sana hanya ada tiga toko milik orang Jepang dan sembilan belas orang Jepang yang menetap. Walaupun jumlah mereka hanya sedikit, namun mereka mengelola bisnis mereka sendiri, memiliki toko dan mempekerjakan orang pribumi. Inilah yang membedakan mereka dengan para emigran yang ada di Amerika dan tempat lainnya. Di sini, mereka dapat mengembangkan diri mereka dan menikmati hidup mereka. Jika mereka bekerja dengan jujur, mereka akan dipercaya dan dapat berhubungan dengan orang asing dengan status yang sama[113], dan juga dihormati oleh orang-orang setempat. Mereka berkata, “Kami merasa kesepian namun di sini kami bekerja keras agar kami dapat dikuburkan di tanah ini, sambil menanti orang Jepang yang lain datang”. Keesokan harinya kami mengucapkan selamat tinggal kepada mereka dan kami meninggalkan Tjilatjap untuk menuju ke Jogja, ibukota pulau Djawa.
Ketika kelompok karyawisata kami tiba di Jogja pada tanggal 30 Mei, kelompok-kelompok lain sudah ada di sana. Kami tidak mengetahui kekeliruan apa yang telah dilakukan oleh anggota panitia Belanda, tetapi ada kebingungan karena orang-orang telah tiba sebelum segala sesuatu mengenai pengaturan penginapan diselesaikan. Hal ini menyebabkan orang-orang kebakaran jenggot. Ada setumpuk tas barang di atas peron, bahkan Asisten Residen daerah dengan cemas membawa tas-tasnya sendiri. Dengan mata terbuka lebar seperti seorang Amagawaya[114] Barat yang modern, kepala stasiun duduk di atas tumpukan barang, menjaga tas-tas barang itu agar tidak ada satu pun yang hilang.
Untungnya, kami para anggota dari Jepang dapat tinggal di sebuah hotel, mengatasi masalah penginapan ini, Hotel Grande de Jogja[115], telah dipesan untuk kami oleh Tuan Masao Sawabe, orang Jepang yang menetap di kota itu.
Hotel Grande Jogjakarta (diambil dari album pribadi penulis).
Sebuah jalan di Jogjakarta (diambil dari album pribadi penulis).
Ketika kami sedang mandi untuk membersihkan keringat dan kotoran yang menempel di badan kami selama beberapa hari terakhir ini, beberapa orang Barat yang tersesat masuk ke dalam kamar. Pengaturan penginapan untuk mereka akan memakan waktu sampai larut malam. Kami mendengar bahwa banyak di antara mereka memiliki masalah, contohnya seorang laki-laki Inggris ditempatkan di rumah orang Jerman dan kemudian mereka mengalami kesulitan dalam berkomunikasi.
Tuan Sawabe, orang yang mengurusi kami, merupakan orang yang penting dan sukses di Jogja, dan ia telah menetap di pulau Djawa selama lima puluh tahun. Ia memiliki sebuah toko untuk keperluan masyarakat umum, yang diberi nama Fuji Yôkô, tetapi ia mendapatkan keuntungan yang besar dari bisnis batiknya. Ia memiliki sebuah pabrik di belakang rumahnya dan di sana terdapat sejumlah wanita-wanita Djawa yang sedang menggambar pola pada kain dengan menggunakan lilin.
Membatik (diambil dari album pribadi penulis).
Karena semua anggota telah dikumpulkan di sini hari ini, aku memutuskan untuk mengundang para wakil dari Jepang untuk mengucapkan selamat tinggal pada Dr. Kato, wakil pemimpin kami yang akan melanjutkan perjalanannya yang jauh menuju Afrika. Selain itu juga untuk menyatakan terima kasih kami kepada pemimpin kami Dr. Hatai dan untuk mengucapkan selamat tinggal kepada para anggota kelompok yang membubarkan diri dari sini. Ketika aku berkonsultasi dengan Tuan Sawabe tentang bagaimana cara melakukan semua ini, ia menawarkan rumahnya untuk tempat acara itu. Aku pikir ia sudah terlalu banyak membantu tetapi ia meminta dengan tegas sambil berkata, “Biarkan saya yang mengurusnya!”.
Pada pukul delapan, kami berkumpul di rumah Tuan Sawabe. Tuan rumah pada acara itu menjadi begitu rancu. Rumah Tuan Sawabe sangat besar dengan ruangan yang lebih dari cukup untuk mengundang beberapa lusin tamu. Keramahtamahan keluarganya sangat terasa di meja perjamuan. Makanan yang tersedia sangat bagus dan membuat kami kagum. Menu makanannya begitu sempurna. Ada sushi, soba, udon, tsukemono dan chadzuke[116]. Kami merasa sangat berterima kasih, karena setiap harinya kami selalu menghadapi daging sapi dan ayam. Adalah lebih baik bila kami katakan bahwa kami selalu bermimpi untuk dapat menikmati semua makanan Jepang ini. “Aku menghabiskan tiga mangkuk soba dan udon, dan kemudian tiga mangkuk chadzuke. Semuanya lezat”, kata Dr. Hatai. Dengan mudah bisa diduga, kami semua juga makan seperti seekor kuda atau seekor banteng tanpa mau membuang waktu untuk minum. Akhirnya, kami melakukan toast (minum dengan penghormatan di kepala) satu sama lain dan berterimakasih kepada Tuan Sawabe atas semua keramahtamahannya.
Keesokan sorenya, pada tanggal 31 Mei pukul delapan, Menteri mengundang semua anggota untuk menonton pertunjukan wayang wong yang telah diatur atas perintah Soeltan[117]. Panggung disediakan di istana, satu setengah kaki di atas lantai dengan area lebih dari 80 meter persegi dan beralaskan pualam putih. Keempat sisinya terbuka, tiang-tiang dan langit dicat putih bersih dan hanya dihias dengan warna merah dan emas.
Tempat duduk penonton diletakkan di sisi depan, sisi kiri dan sisi kanan, sedangkan di sisi belakang adalah tempat duduk para musisi. Wayang wong berasal dari wayang kulit. Semua aktor dan aktris dikumpulkan di keraton dan biasanya mereka tidak mengadakan pertunjukkan untuk masyarakat umum. Mereka muncul pada saat musik perkenalan. Beberapa di antara mereka setengah telanjang, mereka mengenakan celana panjang batik dengan selendang sutera yang tergantung di kedua sisi pinggang mereka, membawa keris[118] di pinggang dan memakai mahkota di kepalanya. Beberapa aktor lainnya mengenakan baju besi dengan bulu berwarna emas di punggung, sedangkan yang lainnya mendandani wajah mereka dengan bedak berwarna hitam atau putih, dan yang lainnya lagi mengenakan topeng. Seperti halnya di negara-negara yang lain, aktor yang berperan sebagai musuh wajahnya didandani dengan bedak merah, sedangkan badan mereka dipenuhi bedak kuning. Ketika mereka muncul di atas panggung, mereka memberi hormat dengan merapatkan telapak tangan mereka kemudian menghilang di balik panggung. Mereka selalu berjalan dengan lutut mereka, kecuali ketika mereka sedang beraksi. Mereka berkonsentrasi dalam setiap gerakan. Sungguh suatu pertunjukan yang sangat indah ketika sepuluh orang naik ke atas panggung sambil membawa tombak, bendera dan senjata lainnya. Pertunjukan saat itu merupakan bagian ceritera dari Mahabarata, sebuah legenda dari nenek moyang orang India. Keindahan pertunjukkan tersebut mirip dengan Nohgaku di Jepang. Karena pertunjukkan itu dimulai pukul sembilan dan akan berakhir pada pukul satu pagi, sedangkan kami sudah lelah setelah mengikuti jadwal yang begitu padat sehingga kami berpamitan ketika pertunjukkan itu berlangsung separuh jalan.
Beberapa bentuk topeng dari Djawa (diambil dari album pribadi penulis).
Hal itu terjadi ketika kami dalam perjalanan dari Soerabaja menuju Bandoeng. Ketika kami dalam perjalanan kereta api yang menjemukan di siang hari yang panas, kami merasa sangat haus. Pada saat kereta berhenti di stasiun, ada banyak penjual buah yang menawari jeruk yang kelihatannya sangat enak.
Masalah yang kami hadapi di pulau Djawa adalah kami tidak dapat berkomunikasi dengan masyarakat umum tanpa bahasa Melayu. Karena di antara kami ada seorang ahli bahasa yaitu Tuan F yang pernah tinggal di pulau Djawa, maka kami bergantung padanya dan meminta bantuannya.
Tuan F mulai bernegosiasi dengan penjual jeruk keliling, seorang perempuan tua. Ia berkata, “Lima belas sen terlalu mahal untuk sebuah jeruk. Saya ingin membeli jeruk itu dengan harga sepuluh sen tapi perempuan itu tidak mau mengalah”. Semua orang mendukung Tuan F dan berkata “Ya, itu terlalu mahal. Ayo kita tawar”. Tuan F berusaha keras dengan keringat yang bersinar di atas hidungnya tetapi bisnis tidak berjalan dengan lancar. Akhirnya, sebelum mereka mencapai suatu persetujuan tiba waktunya kereta harus berangkat. Dengan marah, Tuan F melemparkan sebuah koin sepuluh sen dan mengambil sebuah jeruk. Perempuan itu heran dan terkejut dengan perilaku Tuan F. Kemudian, semua orang memberi perempuan sepuluh sen dan masing-masing mengambil sebuah jeruk, termasuk pemimpin kami Dr. Hatai.
Kereta mulai berjalan. Perempuan tua itu nampak sama sekali tidak bahagia dan dia menatap sampah rokok. Setelah kita mendapat banyak jeruk yang murah dan mulai mengupas kulitnya, seorang Barat di tempat duduk sebelah bertanya, “Apa yang kamu lakukan di sana?” Pemimpin kami menjawab, “Kami memberi sepuluh sen untuk sebuah jeruk sebab lima belas sen terlalu mahal”. Orang Barat itu tersenyum sambil berkata, “Perempuan itu berkata lima sen untuk satu jeruk. Aku merasa heran mengapa kamu memberinya sepuluh sen”.
Kami merasa sedih sambil melihat jeruk yang seharusnya bisa lebih murah. Tuan F merasa sangat bodoh. Sejak itu, kredibilitas bahasa Melayunya telah musnah.
* * *
Pada waktu Dr. Hattori[119] sedang berjalan di kota Jogja, ia berjumpa seorang perempuan tua penjual buah vanili. Harganya 78 sen untuk seikat buah vanili tetapi Dr. Hattori memberikan sepuluh gulden karena ia tidak punya uang kecil. Perempuan itu meninggalkan dagangannya dan pergi untuk mencari uang kembalian. Tak lama kemudian, saat Dr. Hattori sedang menjaga dagangannya, perempuan itu kembali dengan sebuah kantong yang terlihat berat dan penuh dengan koin tembaga senilai sepuluh gulden yang menimbulkan suara gaduh. Kantong itu berisi 9 gulden dan 22 sen uang tembaga. Karena tidak dapat berbahasa Melayu, Dr. Hattori menggunakan bahasa isyarat untuk meminta perempuan itu menukar koin tembaganya dengan koin perak. Banyak orang berkumpul untuk mengetahui apa yang sedang terjadi. Tanpa mempedulikan panasnya udara saat itu, para laki-laki dan perempuan, tua dan muda, dan para penjual yang lain berkumpul mengelilingi mereka untuk melihat bahasa isyarat antara orang asing dan perempuan tua itu. Mereka berusaha keras sampai penuh dengan keringat. Ketika mereka mulai putus asa, seorang polisi Djawa datang tetapi ia juga tidak dapat berkomunikasi dengan baik. Kemudian, polisi itu meminta keduanya untuk mengikuti dia. Sungguh memalukan, tetapi Dr..Hattori mengikutinya bersama-sama dengan perempuan itu menuju pos polisi. Polisi mempersilakan Dr. Hattori untuk duduk dan berkata sesuatu kepada perempuan tua itu. Dengan bimbang, si perempuan tua itu pergi ke pasar dengan membawa kantung rami, dan tak lama kemudian ia kembali dengan membawa tiga keping koin perak senilai masing-masing satu gulden, koin tembaga 6 gulden dan 22 sen. Polisi tersebut tidak dapat menerima koin-koin itu dan memintanya untuk menukar kembali koin-koin itu. Perempuan itu merasa dipermalukan tetapi ia pergi lagi. Dr. Hattori merasa menyesal telah menyusahkan dan membuat banyak orang berkumpul di jalan di siang hari yang panas ini hanya karena belanjaannya yang hanya bernilai 78 sen. Tetapi ia harus mematuhi polisi itu dan menunggu tanpa mampu berkata apa-apa. Setelah hampir satu jam, perempuan tua itu akhirnya kembali dengan membawa koin perak. Polisi itu menghitung koin-koin perak tersebut dengan hati-hati dan memberikannya kepada Dr. Hattori.
Dr. Hattori menawarkan beberapa koin perak kepada polisi itu sebagai ungkapan rasa terima kasih atas kebaikannya, tetapi ia menolak. Dr. Hattori tidak bisa berkata apa-apa, tetapi ia berusaha mengekspresikan rasa terima kasihnya kemudian ia pergi. Ia merasa sangat lelah karena kejadian tadi telah membuatnya berkeringat panas dan keringat dingin sekaligus.
Aku juga berusaha untuk menemui polisi yang baik hati itu untuk berterima kasih sekali lagi, tetapi kami tidak melihat lagi selama tinggal di pulau Djawa.
Ada banyak kekeliruan lain dan berbagai pengalaman lucu seperti itu yang disebabkan kesulitan komunikasi yang jauh lebih serius dibanding ketika kami bepergian di Eropa. Yang tersebut di atas hanyalah beberapa contoh yang khas.
Perjalanan ke Tosari - ditulis di Tosari
Orang-orang yang telah berkumpul di Jogja kembali berpencar untuk terakhir kali menikmati karyawisata ke berbagai arah sesuai dengan pilihan mereka. Karena perjalanan yang ditempuh begitu panjang dan jadwal kami sangat ketat, maka aku meninggalkan putra dan isteriku. Aku bergabung dengan kelompok yang menuju Tosari yang terkenal dengan lautan pasirnya. Kelompok kami tidak memiliki tujuan tertentu tetapi hanya ingin melihat-lihat.
Tanggal 2 Juni, setelah bermalam di Soerabaja, kami kembali dengan kereta api dan mobil dan tiba di Tosari pada sore hari. Belum pernah ada perjalanan yang begitu menyakitkan dan tidak mengenakkan seperti perjalanan kali ini. Para penumpang berkali-kali terguncang, ke kiri dan ke kanan seperti kacang-kacang dalam panci panggangan, jika mobil melewati jalan mendaki yang tidak rata dan curam serta melintasi awan dan kabut. Tosari adalah sebuah tempat yang menyerupai Hakone[120] tetapi tidak ada musim semi yang panas. Tempat itu tidak menunjukkan ciri khas sebuah kota karena rumah penduduk asli tersebar di sana sini di atas dan di antara bukit-bukit.
Diambar dari: Dalton, Bill, Indonesia Handbook 4th Ed., Moon Publ. Chicago 1988.
Kami menginap di Hotel Grande. Di sana ada sekitar dua puluh bungalow yang menghadap ke lembah dan terletak di kedua sisi jalan. Masing-masing bungalow terdiri dari dua ruangan. Bungalow-bungalow itu membentuk suatu perkampungan dan tidak ada rumah yang lain, dan ditengah-tengahnya terdapat kantor dan sebuah rumah makan. Orang-orang beramai-ramai ke luar untuk makan ketika sebuah gendang dibunyikan. Nama ruangan yang aku tempati bersama Tuan Ihara adalah ‘Emma’. Tempat ini sebenarnya adalah pintu masuk ke neraka, sebab pada hari berikutnya kami pergi melihat sebuah gunung api dan nama rumah itu mirip dengan En-Ma[121].
Kami dibangunkan pada pukul setengah tiga pagi. Kuda dengan kursi sedan menunggu di depan bungalow. Waktu menunjukkan pukul setengah empat ketika dua puluh anggota acara ini telah siap. Kuda yang kami tunggangi adalah kuda poni kecil yang menyenangkan, yang bahkan terlihat lebih kecil ketika orang bertubuh besar menunggangi punggung mereka, bahkan kaki penunggang kuda itu hampir mencapai tanah. Sungguh seekor kuda tunggangan yang pendek[122]! Kami dapat menunggangi kuda itu seperti kami memakai sepasang bakiak kayu. Sebaliknya, kursi yang diduduki oleh orang besar harus ditandu oleh delapan orang padahal biasanya dua orang sudah cukup untuk membawa tandu orang Jepang. Ini adalah sarana angkutan untuk orang-orang yang lebih tua.
Di langit terlihat bulan sabit mulai memudar. Kuda-kuda poni mendaki bukit dan terdengar derap langkah kakinya di bawah remang-remang sinar rembulan. Sayup-sayup terdengar suara gamelan yang terbawa angin berasal dari desa di kaki bukit. Di negeri Selatan itu anak-anak muda sedang menari sepanjang malam[123]. Kami bergegas mendaki jalan-jalan di atas bukit yang gelap itu di antara remang-remang sinar rembulan. Pada pukul lima pagi sebelum hari mulai terang, bintang-bintang mulai menghilang satu persatu dan malam berakhir dengan cepat secepat langit Timur mulai memutih.
Setelah mendaki selama dua jam, kami duduk di kursi seperti seorang bangsawan dan yang lainnya duduk di atas kuda poni sambil bergaya lucu seperti Don Quixote[124]. Kami tiba di Moengar Pass di pinggir kawah terluar dari gunung Bromo[125]. Di bawah kami seharusnya terdapat lautan pasir caldera yang terkenal itu, tetapi yang kami lihat hanya kabut awan tebal seperti ombak yang turun di pagi hari. Ketika cahaya matahari mulai bersinar dari puncak pegunungan yang jauh, awan-awan berpencar dan terlihatlah lautan pasir. Di sana terdapat sebuah gunung api yang tidak aktif berbentuk seperti peci yang bernama gunung Batok[126]. Gunung itu terdiri dari abu volkanis yang terkikis oleh air hujan dan memiliki selokan yang tajam menyerupai lipatan. Penampilannya lebih baik dibandingkan dengan lipatan mangkuk kertas yang digunakan untuk coklat. Di sebelah gunung Batok terdapat gunung api Bromo yang masih aktif. Kami turun melalui dinding bagian dalam kawah yang sangat curam menuju lautan pasir yang terkenal itu. Kami tidak mengharapkan area kawah itu seperti luasnya padang pasir yang ada di Afrika, tetapi aku merasa sedikit kecewa karena di sana tidak terasa atmosfer dari lautan pasir yang sebenarnya, karena di sana sini banyak tumbuh rumput payung (umbrella sedge, Cyperus). Debu pasir yang tebal beterbangan dari kaki orang-orang ketika mereka berjalan.
Gunung Batok (depan) dan gunung Bromo (belakang).
..
Lautan Pasir.
Setelah sedikit berjalan di sekitar kaki gunung Batok, kami tiba di bawah gunung Bromo. Di sana terdapat sebuah tangga batu yang disediakan untuk kenyamanan para pendaki. Kawahnya terletak lima puluh langkah ke atas. Penduduk di sana sama dengan penduduk daerah gunung api lainnya sehingga tidak ada yang mengherankan bagi kami. Yang menarik perhatian kami bukan lahar atau batu apungnya, tetapi pasirnya yang meledak ke luar dari kawah membentuk gunung pasir dan padang pasir. Sebuah pemandangan yang hampa tapi bukan pemandangan yang liar. Setelah melihat semua itu, kami memulai perjalanan pulang. Para bangsawan dibawa dengan penuh keramahan. Ketika Don Quixote-Don Quixote yang berkeliling semaunya ketika para penjaga kuda berusaha untuk menarik mereka ke arah yang benar. Sementara itu, aku pergi menderapkan kudaku sehingga tidak diganggu debu-debu pasir. Ketika aku menoleh ke belakang ke atas kawah bagian luar, dari kejauhan terlihat ada beberapa galur asap pasir yang naik ke atas menandakan adanya orang-orang yang bergerak. Aku adalah orang pertama yang tiba di hotel pada pukul sepuluh. Uang persenan untuk penjaga kuda adalah sebesar duapuluh sen!
Makan malam perpisahan - ditulis di Soerabaja
Keesokan harinya tanggal 4 Juni, kami kembali ke Soerabaja. Ketika aku kembali ke hotel, isteriku berkata bahwa Dr. Hatai menungguku di depan kamarnya sejak pagi tadi, seperti terperangkap. Sesungguhnya, guruku yang terhormat itu sedang menunggu di luar kamarnya sambil duduk santai di sebuah kursi. Ketika ia melihatku, ia berkata, “Aku telah menunggumu sejak pagi tadi. Aku ingin membicarakan tentang undangan dari ketua kongres nanti malam. Aku sudah memutuskan untuk memintamu menyampaikan pidato, karena kita setuju untuk menugaskan orang-orang baru untuk melakukannya”. Dengan sopan aku meminta maaf sambil memberitahukan bahwa aku telah bergabung dengan delegasi yang lebih kecil karena akan lebih baik bila menambahkan satu anggota lagi, seperti kata pepatah, “Bahkan sebatang pohon yang layu merupakan hiasan di atas sebuah gunung”, meski aku belum menjanjikan hal itu. Bagaimanapun juga ia tidak dapat menerima hal ini, dan ia berkata bahwa sekedar menyampaikan pidato yang singkat pun sudah cukup. Sebenarnya aku harus mematuhi perintah pimpinanku, walaupun aku agak segan untuk melakukannya dengan menggunakan bahasa Jepang, lebih baik dalam bahasa Inggris.
Aku berpikir tentang pakaian yang akan kukenakan dan memutuskan untuk mengenakan pakaian formal Jepang, dan berharap pidatoku akan selesai selagi orang-orang sibuk memperhatikan pakaianku yang tidak biasa itu.
Seluruh program acara selesai pada pukul delapan, kami diundang oleh ketua kongres untuk makan malam perpisahan yang terakhir di Klab Simpang[127]. Di pesta besar itu hadir pula Residen, Walikota dan orang-orang penting di Soerabaja. Pidato ketua kongres dimulai setelah separuh jalan sebelum makan malam dan diikuti oleh perwakilan dari negara-negara lain. Namun aku tidak dapat menikmati makananku karena aku memikirkan pidato yang akan aku sampaikan. Kemudian ketua kongres memperkenalkan aku. Sampai bagian, “Bapak Presiden, hadirin yang terhormat!”, kupikir aku melakukannya dengan baik. Aku meneruskan pidatoku dengan mengatakan bahwa kami, anggota dari Jepang sangat berterima kasih dan tidak dapat menyampaikan kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan rasa terima kasih kami atas semua kebaikan dan fasilitas yang telah diberikan oleh ketua kongres, anggota panitia dan semua orang di daerah setempat selama dan setelah kongres, atau kalimat yang serupa itu. Aku tidak yakin kalau kata-kataku dapat dimengerti oleh orang Barat, tetapi bagian akhir dari pidatoku dengan jelas dapat dipahami. Ketika aku minta penonton untuk menemaniku bertepuk tangan “tiga kali banzai” untuk merayakan kesuksesan kongres, semua orang tidak hanya orang Jepang berdiri dan bersama-sama berteriak “Banzai!” tidak hanya tiga kali tetapi empat atau lima kali[128]. Aku mandi keringat. Di meja sebelah, pemimpin kami sedang bersulang dengan sampanye dengan mimik wajah yang tenang.
Demikianlah, bagian akhir dari Kongres Ilmu Pengetahuan telah diselesaikan.
Kota ikan hiu dan buaya – ditulis di Soerabaja
Kongres Ilmu Pengetahuan telah berakhir dan aku benar-benar telah bebas. Kami telah menjalankan tugas kami walaupun ada kekurangan. Para anggota dari Jepang seperti halnya anggota dari negara-negara lain berpisah menuju arah yang berbeda, beberapa di antara mereka langsung pulang ke negaranya dan yang lainnya kembali lagi untuk menelusuri bagian dalam dari pulau Djawa.
Soerabaja merupakan pusat perdagangan di pulau Djawa yang mengekspor produk-produk penting dari pulau Djawa seperti karet, gula, tepung tapioka, minyak sawit, dan masih banyak lagi, sedangkan Batavia adalah pusat politik. Bank Shôkin, Bank Mitsui, Bank Mitsubishi dan Mitsui, Mitsubishi serta masih banyak perusahaan perdagangan yang lain mempunyai kantor di kota ini.
‘Soerabaja’ berarti ‘Ikan hiu dan Buaya’[129] Di sana terdapat sebuah jembatan yang disebut Djembatan Merah yang membentang di atas Kali Mas yang melalui kota itu. Jembatan itu tidak dicat warna merah, tetapi diberi nama Djembatan Merah dan nama kota itu adalah Soera (ikan hiu)-dan-Baja (buaya). Orang di sana berceritera bahwa dahulu kala air sungai menjadi berwarna merah ketika seekor ikan hiu dan seekor buaya berkelahi karena alasan tertentu.
Dalam huruf Cina, nama kota itu dituliskan sebagai 泗川. Mereka mengatakan bahwa pemberian nama kota itu bukan karena alasan fonetis namun untuk suatu makna yang juga tidak ada kaitannya dengan ikan hiu dan buaya ataupun peristiwa perkelahian keduanya. Namun demikian, tulisan ini diadopsi untuk penggunaan secara praktis berkaitan dengan Kali Mas yang di atasnya membentang Djembatan Merah. Setidaknya memang benar bahwa sungai itu sungguh penting bagi kehidupan di kota tersebut. Mereka mengatakan bahwa sungai itu berkaitan dengan empat kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari orang Djawa, seperti halnya sungai-sungai yang lain di pulau Djawa. Memang agak terdengar kurang enak untuk dikatakan, tetapi mereka menggunakan air yang sama untuk mencuci muka, memasak beras, mencuci pakaian dan membuang hajat mereka. Entah benar atau tidak, hal itu disebut 泗川[130]. Sesungguhnya, Kali Mas bukanlah sebuah sungai yang indah, tetapi riak air di sungai itu seperti berwarna emas.
Perjalanan ke pulau Bali- ditulis di Soerabaja
Sehari setelah Kongres berakhir, tanggal 5 Juni, perusahaan kapal K.P.M menawarkan sebuah kapal kepada peserta kongres untuk bertamasya ke pulau Bali. Pulau kecil yang terletak di ujung Timur pulau Jawa ini pada awalnya merupakan sebuah kerajaan Buda yang didirikan oleh pengungsi-pengungsi beragama Buda yang diusir oleh umat Muslim dari pulau Djawa[131]. Tata krama dan adat istiadatnya sungguh kompleks, seperti campuran dari upacara keagamaan umat Brahma, Muhammad dan Buda. Kapal De Rumphius adalah kapal yang pernah membawa kami ke pulau Krakatau, tetapi sekarang ada enam puluh penumpang termasuk empat belas orang Jepang. Sayangnya, perjalanan yang seharusnya menyenangkan berakhir dengan hasil yang kurang baik akibat berbagai alasan. Iklim yang awalnya bersahabat tiba-tiba menjadi ganas, angin badai bertiup dan hujan turun sehingga kapal berguncang-guncang dengan keras. Di pulau Bali, kami juga terjebak hujan lebat dan tidak dapat melihat banyak tempat. Selain itu, pada tengah malam tanggal 6 Juni aku merasakan sakit di ususku. Aku pikir hal ini hanya terjadi pada diriku, namun teman sebelahku juga mengalami hal yang sama. Pagi harinya, semua orang terlihat pucat. Tidak ada seorang pun yang berkata, “Selamat pagi”, dan kecuali ”Bagaimana perutmu?” Penyebab masalah tersebut adalah makanan di kapal. Hujan deras dan keracunan makanan yang kami alami menjadikan perjalanan ke pulau Bali menjadi perjalanan yang mengerikan, merusak kebaikan yang telah diberikan oleh K.P.M dan memberikan kenangan yang tidak enak bagi banyak orang.
Perayaan hari besar di Bali.
Sebuah pemandangan kehidupan orang Bali.
Gadis Bali.
Ada dua ibukota tua di pulau Djawa, yaitu Solo yang dipimpin oleh Soesoehoenan dan Jogjakarta yang dipimpin oleh Soeltan. Keluarga kerajaan yang ortodoks di pulau Djawa adalah Soesoehoenan (artinya “Pilar alam semesta”), dan raja di Jogjakarta yang bergelar Soeltan berasal dari keturunan yang sama[132]. Kami tiba di Solo dari Soerabaja pada tanggal 10 Juni.
Stasiun Solo
(diambil dari album pribadi penulis).
Tuan Rihachiro Ogawa tinggal di Solo. Setelah menetap di pulau Djawa selama tiga puluh tahun, ia meraih kesuksesan dalam perdagangan obat dan kosmetik dengan berbagai hak monopoli di seluruh pulau Djawa[133]. Ia juga memiliki sebuah perusahaan surat kabar berbahasa Melayu yang bernama Boendel. Oleh karena itu, ia merupakan salah satu orang paling berpengaruh di daerah ini.
Toko Ogawa
(diambil dari album pribadi penulis)
Kami bertanya kepada Tuan Ogawa tentang cara memperoleh ijin untuk bertemu dengan Soesoehoenan. Dengan bantuannya, kami mendapat undangan untuk menghadiri pesta pribadi pernikahan Putra Mahkota Djade Kosmo, putra dari Soesoehoenan, yang diselenggarakan pada malam hari. Selain aku dan isteriku, hadir pula Tuan Sawabe, Tuan dan Nyonya Nemoto dari Jogja, dan pemilik perkebunan setempat Tuan Ogawa dan Tuan Toda. Kami sedikit kecewa dengan pakaian yang telah dipersiapkan untuk kami, dirubah dengan pakaian semi-formal berwarna putih, bukan jas formal (jas yang bagian belakangnya panjang dan terbelah dua) yang sebelumnya kami harapkan.
Ketika kami tiba di istana, Pangeran Djade Kosmo, pengantin wanita dan Kepala Daerah Jogja menunggu di pintu masuk aula. Ketika Tuan Ogawa memperkenalkan kami, Pangeran memberi salam menggunakan bahasa Inggris. Pengantin pria ini memakai sebuah mahkota hitam dengan garis emas, yang bentuknya seperti kopiah Turki, dan dipinggangnya terselip sebilah keris yang gagangnya dihiasi seikat rangkaian bunga yang semerbak. Selain orang Jepang, tamu-tamu yang lain terdiri dari dua puluh orang Belanda, para pangeran, puteri, menteri dan yang lainnya, semuanya kurang lebih enam puluh orang. Ketika Raja dan Ratu muncul, seorang menteri memimpin para tamu satu persatu untuk memberi hormat. Kemudian, di sebuah aula yang agak sempit, Residen duduk di bagian tengah depan, sedangkan pasangan bangsawan ada di sebelah kanan dan kirinya, dan selanjutnya tamu-tamu yang lain duduk di kedua sisi dengan posisi yang rapi. Tidak ada meja di depan kami karena acara akan segera dimulai. Kami menghadiahkan dua gulung kain sutera buatan pabrik yang kami bawa dari Jepang. Ketika aku sedang menduga-duga apa yang selanjutnya akan terjadi, kami disuguhi cerutu dan tak lama kemudian Sang Raja berdiri untuk mempersilakan Residen pindah ke ruangan sebelah.
Pintu gerbang istana Solo
(diambil dari album pribadi penulis)
Ruangan itu luasnya lebih dari 150 meter persegi, dengan empat pilar yang dihiasi warna emas dan hijau di tengahnya begitu pula dengan langit-langitnya. Di sekitar pilar telah disiapkan sejumlah meja persegi untuk bermain kartu. Para tamu membentuk kelompok secara menyebar, duduk di meja dan mulai bermain kartu. Kami sungguh terkejut dengan gaya pesta yang dilengkapi makan malam dan permainan kartu itu. Sungguh pesta yang sangat modern untuk pernikahan kaum bangsawan kerajaan, walaupun pesta itu merupakan pesta pribadi. Isteriku bertanya padaku,”Nampaknya ini tidak seperti acara makan malam. Apakah ada yang salah dengan Tuan Ogawa?”, sebuah pertanyaan yang juga ingin aku ungkapkan. Aku khawatir menjadi pusing jika tetap menyaksikan pemandangan ini. Kami hanya bisa memperhatikan orang-orang bermain kartu kami bukanlah pemain kartu ketika salah seorang pangeran datang dan menjelaskan semuanya secara detil.
Tak lama kemudian terdengar gaung bunyi gamelan dari kejauhan. Seorang perempuan setengah baya datang sambil berlutut diikuti empat penari yang menggoyang-goyangkan badan mereka. Langkah lemah gemulai mereka sama dengan langkah penari noh[134]. Seorang pangeran berkata bahwa itu adalah tarian Serimpi. Penampilan para penari itu tampak rapi, masing-masing memakai sebuah mahkota emas yang dihias dengan bunga semerbak, badan bagian atas mereka separuh telanjang hanya kain sutera panjang yang membungkus badan mereka sampai bagian atas dada. Mereka juga mengenakan rok batik yang ketat, sebuah gobelin[135] berwarna di pinggang mereka, dan mereka bertelanjang kaki. Kemudian, beberapa wanita lain yang lebih tua yang berperan sebagai pembisik datang sambil berjalan dengan lutut mereka. Ada sebuah meja kecil di tengah-tengah empat pilar, yang di atasnya terdapat empat botol kaca yang telah dibuka tutupnya berisi cairan merah dan empat cangkir dengan desain yang sama. Para penari memasuki area tengah yang terpisah dari keempat sudut ruangan dan memberi hormat dengan cara menekan tangan mereka bersamaan sambil duduk di atas lantai. Kemudian mereka berdiri perlahan-lahan lalu menari dengan lemah gemulai.
Malam di istana kerajaan di negeri yang mengalami musim panas dengan tumbuhan yang tetap hijau ini, terasa tenang dan dingin, seperti suasana di musim gugur yang tenang di negeri kami. Para penari yang lemah gemulai itu menari dengan melambaikan pakaian mereka yang memancarkan cahaya, dan bergerak mendekat, atau memisahkan diri masing-masing di bawah cahaya lampu gantung Belanda, seperti kupu-kupu yang mengipas-ngipaskan sayapnya di antara bunga-bunga. Tarian berubah menjadi duet dan kemudian menjadi solo. Salah seorang penari dengan lemah lembut mengambil sebuah cangkir dan penari lainnya menuangkan cairan merah kedalamnya. Dia menari sebentar sambil memegang cangkir itu dan kemudian meneguk cairan itu dengan satu tegukan.
Selama tarian itu berlangsung, para pengurus rumah tangga dan pelayan membawa serbat dingin dan berbagai macam sari buah dengan cara berjalan di atas lutut mereka dan tidak pernah berjalan dengan kaki. Yang lebih mengejutkan aku adalah entah itu bagian dari makan malam atau hidangan, namun ada hors d’oeuvre yang disajikan di atas piring orang Barat pada umumnya lengkap dengan pisau dan garpunya. Para tamu makan sambil duduk di tempatnya masing-masing sambil main kartu atau menonton tarian dan hanya meletakkan piring mereka di ujung mejanya bahkan di lutut mereka. Beberapa piring diberikan selama acara tersebut berlangsung, dan tentu saja lengkap dengan makanannya. Aku merasa agak aneh karena tidak terbiasa dengan gaya makan malam seperti ini, tetapi memang benar bahwa aku tidak mengalami sakit kepala.
Tarian masih berlangsung dengan tenang. Tiba-tiba, para penari mengeluarkan pistol dari pinggang mereka dan setelah melangkah berkeliling, mereka mengangkat ayam jantan dan menembaknya, membuat para tamu terkejut. Namun demikian, mereka melanjutkan tariannya dengan tenang. Tari Serimpi ini berlangsung sekitar satu jam. Selanjutnya adalah tari Boedojo yang menampilkan sembilan penari. Penampilannya sama dengan penari Serimpi, bedanya tidak ada suara tembakan seperti yang diharapkan semua orang. Acara berikutnya adalah tari Ardjoena yang dimainkan oleh dua anak lelaki. Tarian itu seperti sebuah seni bela diri, serupa dengan bujutsu[136], mereka mengayunkan senjata pedang dan tombak sambil berteriak dengan lantang selaras dengan irama musik yang mengiringinya. Pertunjukan selanjutnya adalah wayang wong yang sangat aku kagumi.
Wayang orang di Keraton Solo.
Wayang kelitik (“Wayang golek” dalam buku aslin salah.)
Ketika nada gamelan diubah, dua pemuda dengan pakaian yang indah melangkah dengan gemulai ke dalam area pertunjukan dari ujung koridor. Usia salah satu pemuda itu kira-kira dua puluh satu atau dua puluh dua tahun, sedangkan pemuda yang satunya lagi sekitar tujuh belas atau delapan belas tahun. Setelah berdoa sebentar sambil duduk di atas lantai, mereka memberi hormat dengan cara menekan tangan dan menundukkan kepala, lalu mengangkat kepala dan berdiri perlahan-lahan mengikuti alunan musik kemudian mulai menari. Masing-masing dari mereka memakai sebuah mahkota berbentuk burung yang berwarna emas, baju pelindung berwarna emas yang warnanya sama dengan sayap kupu-kupu yang ada di punggung badan mereka yang separuh telanjang, dan sebilah keris bertahtakan batu-batu permata yang memancarkan cahaya di bawah sinar lampu. Aku tidak terlalu terkesan dengan keindahan pakaian mereka, namun aku kagum dengan penampilan kedua anak muda itu yang terlihat begitu tampan dan terhormat. Riasan bayangan mata di ujung mata mereka menambah ketampanannya. Pemuda-pemuda itu begitu mempesona, bahkan para penari wanita sebelumnya dibayang-bayangi oleh “tiga ribu pelayan wanita di keraton[137]” sekalipun tak dapat menandinginya, seperti halnya bintang-bintang melawan sang rembulan. Aku mengamati pertunjukan itu dengan sungguh-sungguh, seperti orang yang telah kehilangan jiwanya dan pada keadaan seperti itu wajahku pasti terlihat aneh bagi orang lain. Ketika aku sadar, pangeran yang duduk di sebelahku menepuk bahuku, dan memberitahuku, “Mereka adalah putraku dan saudaraku.” Aku telah menduga sebelumnya bahwa mereka bukanlah rakyat biasa tetapi mereka adalah para pangeran. Sungguh mulia!
Kedua pangeran itu menyajikan sebuah tarian yang brilian. Tariannya luwes dan lemah gemulai, tetapi berubah menjadi menakutkan ketika adegannya pindah ke suatu medan tempur. Pada adegan itu dua badan menyilang dan keris mereka saling beradu dan memantulkan cahaya. Meski adegannya menakutkan namun tarian itu tetap terlihat luwes. Pertunjukan selesai setelah adegan puncak dan kedua pangeran muda itu mengundurkan diri dengan perlahan setelah berputar memberi hormat.
Aku menghabiskan malam yang indah dan romantis di negeri Selatan ini bagai dalam mimpi, menghadiri pertunjukan para bangsawan di istana keemasan. Raja, Ratu, Putri, Pangeran, penari-penari kerajaan, . . .
Aku pikir itu hanyalah kata-kata dalam dongeng semata. Apakah aku sedang berada di negeri dongeng? Ataukah ini hanya sebuah ilusi? Dengan perasaan setengah bermimpi, aku pamit dari istana kerajaan itu.
Kunjungan Kehormatan di Jogja-ditulis di Jogja
Di Tahta kerajaan di Jogja dan Solo, segalanya berlangsung seperti jaman dahulu. Di lingkungan kerajaan Jogja sendiri, ada beberapa ribu orang yang menerima pensiun dari Soeltan. Mereka mengikat rambut, dan berdasarkan jabatan, mereka memakai sebuah kopiah Turki berwarna hitam putih atau mengikatkan kain batik di kepala mereka yang disebut kain kepala batik, dan mengenakan kain pandjang atau dodot[138], lengkap dengan keris di pinggang yang setengah telanjang dan tanpa mengenakan alas kaki. Bayaran tertinggi yang diterima oleh Menteri Umum yaitu 7,000 florin (7,000 yen) setiap bulan, dan pendapatan total setiap bulan termasuk dengan pendapatan lain adalah sebesar Dfl. 20,000. Uang pensiun terendah adalah 75 sen. Jumlah yang sangat kecil tetapi itu hanya formalitas sebagai pokok dan para penerima uang pensiun tidak memiliki tugas kecuali datang ke istana sekali atau dua kali dalam setahun. Pergantian pengawal istana dilakukan pada pukul sembilan pagi setiap hari. Dengan dipimpin barisan musik dilengkapi suling dan genderang, berlusin-lusin prajurit berbaris di lapangan. Prajurit dengan pangkat tertinggi ditemani oleh para pengikutnya yang membawa tombak dan payung. Payung anggota keluarga kerajaan seluruhnya dicat warna emas, sedangkan payung para prajurit hanya sebagian yang dicat warna emas. Sesuai dengan jumlah para pengikutnya, daerah yang lebih besar di tempati oleh prajurit dengan pangkat tertinggi. Mereka semua bertelanjang kaki. Hal itu merupakan salah satu tradisi yang juga ada di Jepang sebelum Restorasi.
Pada tanggal 12 Juni sore hari, yaitu dua hari setelah kunjungan kami di Solo, kami diijinkan untuk bertemu Soeltan berkat bantuan Gubernur Jenderal pulau Djawa dan Residen Jogja, Tuan Jaspers. Karena kunjungan kehormatan ini secara khusus diatur untukku, anggota keluargaku juga diijinkan datang. Pakaian yang dikenakan adalah jas formal yang di bagian belakangnya panjang dan terbelah dua dilengkapi dengan hiasan untuk pria dan kimono Jepang untuk wanita. Karena Dr..Hattori dan yang lainnya tidak membawa persiapan pakaian formal tersebut, Tuan Sawabe berusaha mencarikannya untuk mereka. Mereka terlihat sempurna ketika selesai berdandan, walaupun seragam sewaan mereka itu sedikit longgar atau sedikit kekecilan.
Dengan ditemani oleh Tuan dan Nyonya Jaspers, kami tiba pukul tujuh di ruang depan istana dari negeri impian, dan di sana terdapat penjaga sambil memegang tombak berdiri di sebelah kiri dan kanannya. Di serambi, para pangeran dan pejabat kerajaan sedang menunggu kami. Di sana juga ada dua pelayan yang akan melayani kami, duduk di atas lantai sambil memegang suluh untuk penerangan. Kedua pelayan itu dibiarkan tetap memegang lilin penerangan tersebut, dan para pangeran mempersilahkan kami untuk masuk melalui koridor panjang diterangi lampu-lampu yang berkilauan. Masing-masing dari mereka memegang tangan kami. Di atas sebuah permadani merah tua terdapat taburan bunga-bunga berwarna merah dan putih yang harum semerbak yang tumbuh di negeri Selatan itu. Kami melangkah di atas taburan bunga-bunga menuju ruang penyambutan yang sangat besar ditutupi oleh 300 alas lantai tatami[139]. Di tengah ruangan terdapat langit-langit dihiasi warna biru dan emas seperti sebuah penutup lemari penyimpanan barang berharga, dan di bawahnya terdapat kursi kerajaan. Soeltan sudah menunggu kedatangan kami di sebuah kursi yang ada di depan kursi kerajaan, karena kunjungan ini bukanlah sebuah acara yang formal. Ketika Soeltan melihat kami datang dari ujung koridor, sekelompok musikus dengan alat musik tiupnya memainkan lagu kebangsaan Belanda, Soeltan berdiri mendekat dan menyambut kami saat memasuki ruangan itu. Ketika aku berjabat tangan dengannya sesuai tata krama mereka, lagu Kimigayo[140], lagu kebangsaan kami dimainkan. Aku menundukkan kepala dengan khidmat.
Soeltan mengenakan seragam militer ditemani oleh kakak perempuannya karena istri Soeltan berhalangan hadir. Kemudian aku berjabat tangan dengan pangeran dan puteri itu. Raja duduk di tengah, sedangkan Tuan Jaspers dan aku masing-masing duduk di sebelah kiri dan kanannya. Rombonganku duduk di sebelah kananku dan di sebelah kiri Tuan Jaspers adalah para pangeran, para puteri dan anggota keluarga kerajaan yang lain. Atas nasihat dari Tuan Jaspers, Tuan Sawabe duduk di belakangku. Aku berbicara kepada Raja dengan bahasa Melayu yang tidak lancar. Bila aku mengalami kesulitan, maka Tuan Jaspers dengan senang hati membantuku.
Lantai pualam yang warna putihnya seperti salju itu dipenuhi taburan bunga dengan aroma yang begitu harum. Di depan kebun ada dua pondok kecil yang berada di sebelah kanan dan kiri, dan di hadapannya terdapat puluhan musisi gamelan yang berdiri di dekat instrumennya masing-masing. Orkes tersebut mencakup sejenis gambang kayu yang lebarnya enam kaki yaitu sebuah alat musik pukul yang terdiri dari plat-plat persegi panjang yang terbuat dari kuningan ditempatkan secara paralel di atas bilah-bilah bambu yang ditata dalam sebuah kerangka dicat merah, sebuah bingkai yang bercat merah, sebuah susunan beberapa gendang yang dibalik, gong, gendang kecil dan besar, suling kecil dan besar, kecapi, dan lain lain. Kedua puluh empat pemain itu merupakan sebuah grup yang asli. Suling adalah satu-satunya alat musik tiup, kecapi adalah satu-satunya alat musik petik dan alat musik pukul merupakan bagian utama dari orkes itu.
Para musisi yang ada di sebelah kanan pondok keluar sambil memainkan alat musiknya lalu dua puluh penyanyi dan tiga anak perempuan berbaris di depannya. Ketika anggota grup musik itu duduk di tempatnya masing-masing, pemimpinnya muncul dari belakang sambil memegang sebuah meja kecil yang ditutup kain bergambar. Ia ditemani dua orang laki-laki yang salah satu diantaranya memegang sebuah payung yang terbuka, sedangkan yang satunya lagi membawa dupa yang terbakar. Ketika pemimpin itu duduk di depan tengah dan memindahkan kain yang menutupi meja, terlihat sebuah buku di atas meja kecil itu. Ia menundukkan kepalanya di atas dupa yang terbakar. Pemimpin itu disebut dalang. Pertunjukan wayang wong yang akan dimulai ini dimainkan sebagai persembahan kepada para dewa, sehingga sang dalang berperan seperti seorang pendeta. Ia akan menceritakan sebuah kisah, menyampaikan pesan-pesan dan mengarahkan pertunjukan. Dua pasang pemain muncul di atas panggung dari kedua sisi panggung sambil menundukkan kepala.
Tidak ada keributan di aula yang sangat besar itu dan suasana terasa begitu khidmat, membuatku merasa tenang. Tiba-tiba ketenangan itu pecah ketika Raja memberi perintah, “Mulai!” Dalang menjawab, “Oh!”, pelan-pelan ia membuka buku dan mulai membacanya. Kisah itu adalah sebuah bab dari cerita Ramayana. Kemudian, musik dimulai dan penyanyi bernyanyi.
Wayang wong serupa dengan nohgaku dari negeri kami, tetapi wayang wong lebih mudah dimengerti bagi kami sebagai orang asing, karena pertunjukan itu adalah hal yang baru dan permainan didasarkan pada cerita. Musik dimainkan dengan nada-nada rendah dan keselarasan musik dengan paduan yang kompleks dari bebunyian kayu dan logam dengan alunan nada yang memikat para pendengar. Pertunjukan terdiri dari dua adegan, yang pertama adalah adegan perkelahian dua prajurit. Pada saat istirahat setelah adegan pertama, kami mempersembahkan dua gulung kain sutera Jepang dan sebaliknya kami menerima sebuah lukisan Soeltan. Pada adegan kedua, seekor monyet putih menyerbu raja raksasa. Dimulai dengan sebuah pertengkaran di antara keduanya. Masing-masing dari mereka menaruh tangan kanan di atas pinggang dan mengangkat tangan kirinya ke depan, lalu kemudian memainkan sebuah tarian yang lemah gemulai lalu berubah menjadi adegan kekerasan. Selama pertunjukan, para pelayan menyuguhkan minuman dan cerutu. Tata krama mereka di keraton sama seperti biasanya dan mereka berjalan menggunakan lutut dan dengan ringan menekan tangan mereka. Ketika pertunjukan mencapai puncaknya, adegan itu menjadi begitu hebatnya seperti badai, dan raja raksasa akhirnya terbunuh oleh tusukan keris monyet putih. Setelah pertunjukan, semua orang kembali ke tempat duduknya dan sang dalang menutup buku lalu membungkukkan badannya. Setelah beberapa saat, ia kembali menjawab perintah Soeltan dan mengundurkan diri perlahan-lahan tanpa suara. Kemudian, sebuah musik gamelan yang lembut dimainkan oleh para musisi di sebelah kiri pondok.
Kami mengungkapkan rasa terima kasih yang sangat dalam kepada Soeltan dan anggota keluarga kerajaan yang lain, dan ketika lagu kebangsaan dimainkan, kami meninggalkan istana kerajaan dengan diantar oleh para pangeran dan berjalan di atas taburan bunga lagi.
Aku mengakhiri tulisanku mengenai “Perjalanan Ke Djakatra (A Journey to Djakatra)” sampai di sini. Aku tidak menulis tentang Candi Buda Boroboedoer, reruntuhan dari Candi Hindu Prambanan, Kebun Botani Buitenzorg, dan lain-lain yang telah aku uraikan sebelumnya di dalam “Berburu di Hutan Malaya (Hunting in the Jungle of Malaya)[141]”. Aku akan menambah-kannya lagi jika aku menemukan sesuatu dalam perjalananku menuju Singapoera[142].
- Ditulis di Buitenzorg -
[1] Kapal uap berbobot 10,421GT diluncurkan 5 November 1921 oleh Perusahaan Kapal Mitsubishi-Nagasaki, dan melayani pembuatan Kapal Samudra NYK milik Eropa. Kapal ini melintasi Yokohama-Kobe-Moji-Shanghai-HongKong-Singapoera-Penang- Colombo-Aden-Portugis-Nepal-Marseille-Gibraltar-London-Antwerp-Rotterdam. Kapal ini telah diserahkan kembali pada bulan Juli 1942, ketika terdampar di pulau Omaezaki, Shizuoka, Honshu, Jepang. “Maru” adalah suatu akhiran yang umum untuk nama kapal di Jepang.
[2] Terusan diantara Honshu dan Shikoku (lihat peta jalan laut).
[3] Profesor ahli geologi, Universitas Imperial Tokyo.
[4] Prof. T. W. Vaughan, ahli ilmu kelautan (Oceanology), Universitas California.
[5] Dr. Frederick W. Coville, ahli Botani, U. S. Bureau of Plant Industry, Washington DC.
[6] E. M. Harvey, Profesor Ilmu Fisiologi Botani, Oregon State agricultural College.
[7] Prof. Hirotaro Hattori, Direktur Institut Penelitian Biologi Tokugawa (The Tokugawa Institute for Biological Research). Ia dahulu pernah menjadi profesor di Universitas Imperial Tokyo.
[8] Setelah Perang antara Jepang - Qing (1894-95) tahun 1895. Gelar Hirobumi Ito telah diubah menjadi Marquis pada 5 Agustus 1895.
[9] Kapal uap berbobot 4,391 GT. Diluncurkan pada November 1918 dan melayani OSK Batavia-Line sampai akhirnya dihempaskan oleh angin topan ke selatan pulau Caroline pada 20 Januari 1943.
[10] Profesor ahli biologi, Universitas Imperial Tohoku.
[11] Viscount Masaaki Hoshina, Sekertaris Tokyo Geographical Society.
[12] Dr. Nagamichi Kuroda, Ornithologist, Master of Hunt, Ministry of Imperial Household. Kemudian, ia berhasil mendapatkan gelar Marquis.
[13] Laut di sebelah utara dari Kyushu. Lihat peta jalan laut.
[14] Ulang Tahun Kaisar. Istilah seperti halnya Chikyusetsu (Ulang Tahun Kaisar Wanita) tidak digunakan lagi setelah Perang Dunia II.
[15] Sebuah sungai yang mengalir sampai Tokyo.
[16] Setelah “Duapuluh Satu Tuntutan (Twenty-one Demands)” Jepang terhadap Cina di tahun 1915, pergerakan anti-Jepang terus terjadi sampai pada “Pergerakan 4 Mei” yang terjadi di Peking tahun 1919. Salah satu peristiwa lainnya adalah pemberontakan di Hangkow melawan angkatan perang Jepang tahun 1927.
[17] c. Roti isi kismis yang dikukus dengan sayur-mayur dan irisan daging.
[18] Dalam satu ikat berisi 50 tongkat sebanyak 6 blok digunakan untuk meramal berdasarkan Yi-King atau Buku Mantera.
[19] Saat itu penulis berkunjung ke sana pada tahun 1921 pada musim yang sama, lalu ia ingat pada sebuah Puisi dengan judul, “Perpisahan “(Parting) yang ditulis oleh Sheng-Yu dalam bahasa Cina yang terjemahan seperti ini :
Musim semi di Yangtze di atas pohon willow,
Bunga-bunga willow membawa pengunjung pada perasaan sedih yang mendalam,
Di malam hari terdengar alunan seruling dari sebuah rumah,
Esok hari kau dan aku berangkat menuju Xiao-Xing dan Quin.
(Studi oleh penerjemah bahasa Inggris)
[20] Setelah orang-orang Inggris berkuasa, perjanjian damai dibuat pada bulan Januari, 1841, dan pada 29 Agustus 1842 pulau Hong Kong secara resmi diserahkan kepada Inggris dengan penandatanganan Perjanjian Nanking (The Treaty of Nanking).
[21] Tahun 1997, wilayah baru yang disewakan tahun 1898 selama 99 tahun dikembalikan ke bangsa Cina, bersama-sama dengan pulau Hong Kong yang diserahkan tahun 1842, seperti juga bagian selatan semenanjung Kowloon dan juga pulau Stonecutter yang diserahkan tahun 1860.
[22] Yoshinao (1600-1650), putra ke sembilan dari Ieyasu Tokugawa. Ia pendiri dari Owari-Tokugawa di 1607.
[23] Lihat, catatan No. 1 pada Pendahuluan, “Tentang Penulis, Buku dan Latar belakang cerita”.
[24] Bebatuan yang ditemukan di tanah.
[25] Kartun dalam surat kabar Amerika, “Bringing up Father”, juga dikenal sebagai “Maggie & Jiggs”, diciptakan tahun 1913 oleh George Mc Manus (1884-1954). Itu adalah cerita dari imigran asal Irlandia yang merupakan orang kaya baru dan kehidupan sosialnya bergantung pada para isteri. (http://www.retroactive.com/ jan98/bringfather2.html).
[26] Tidak dikenal oleh penerjemah bahasa Inggris.
[27] Kata-kata dalam bahasa Jepang, yang artinya sebuah pertunjukan yang berlangsung dari awal sampai akhir tanpa henti (tirai pertunjukan diturunkan hanya setelah pertunjukan selesai). Kata ini biasa digunakan untuk berbagai acara dan kegiatan lain yang berlangsung dari awal sampai akhir tanpa henti.
[28] Nama kecil Bodhidharma, yaitu orang suci beragama Buda yang berasal dari India yang memperkenalkan Zen di Cina pada abad keenam. Di Jepang, dia biasanya digambarkan atau dilukiskan sebagai figur yang humoris.
[29] Bamboo Lady (bambu untuk wanita) adalah sebuah keranjang berlubang berbentuk silindris dengan diameter satu kaki dan panjang lima kaki. Berbeda dengan “Dutch Wife” (guling orang Belanda), Bamboo Lady digunakan untuk menjaga perut agar tetap dingin dengan cara memfasilitaskan penguapan keringat pada saat mereka tidur siang di musim panas di Cina dan Korea. Penggunaan Bamboo Lady ini tidak diperkenalkan di Jepang.
[30] Sebuah kapal uap berbobot 3.242 ton yang diluncurkan tahun 1912 dan digunakan sampai tahun 1948.
[31] Koninklijk Paketvaart Maatschappij. Perusahaan ini didirikan tahun 1888 dan tahun 1927 telah memiliki 157 kapal termasuk kapal De Melchior Treub yang beroperasi di 60 jalur di Hindia Timur dan 7 jalur dunia. (Ishii, Yoneo (ed.) Encyclopaedia of Indonesia,Dôhô-sha Publ. Tokyo 1991).
[32] Lihat Bagian Dua - Dari Poesat Penelitian ke Bandoeng.
[33] m. Pelayan (Kata ini hampir tidak terdengar lagi sekarang).
[34] Yang pertama kali adalah pada tahun 1921 (lihat Bagian Dua)
[35] Terletak di Koningsplein Zuid (sekarang jalan Merdeka Selatan) No. 10 (iklan pada Officieele Reisgids 2 Nov. 1939-1 Mei 194. Der Spoor-en Tramwegen 28e Uitgave, 1939). Sekarang di sebelah hotel tersebut digunakan sebagai gedung Lembaga Pertahanan dan Keamanan Nasional.
[36] Kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda (disebut juga delman).
[37] Orang mengenalnya dengan nama Krakatoa, namun nama setempatnya adalah Krakatau.
[38] Kemungkinan diambil dari nama Georg Eberhard Rumphius (1626-1693), seorang naturalis kelahiran Jerman yang bekerja untuk VOC dan menghabiskan tiga per empat hidupnya di Hindia Timur.
[39]Sebuah kapal patroli berbobot 1014 ton milik Angkatan Laut Pemerintah yang digunakan sejak 1922. Kapal tersebut tenggelam akibat terkena bom pada tanggal 26 Januari 1942. (http://leden.tref.nl/~jviss000/Gouvmar.htm,http://www.geocities.com/ dutchastindies/dutch.losses.html)
[40] Terletak di sebelah Utara dari Batavia.
[41] Pada saat itu, fenomena tersebut dibahas secara intensif di sebuah majalah ilmiah yang bernama Nature, berdasarkan penuturan Dr..Bethany Nowviskie dari Universitas Virginia (http://www.people.virginia.edu/~bpn2f/GMH/a1.html). Salah satunya adalah cuplikan sebuah surat yang dikirimkan oleh Gerald Manley Hopkins (1844-1889) yang isinya menggambarkan warna matahari yang sedang terbenam yang ia lihat pada tanggal 19 Oktober 1884 di Dublin, yang dimuat di majalah Nature terbitan 30 Oktober 1884 halaman 663 yang dituliskan sebagai berikut :
Warna kemerahan dekat bumi; diatasnya seperti buah persik
Atau seperti merahnya warna kenari yang matang.
[42] Barangkali, penulis teringat pada puisi yang berjudul “St..Telemachus”, oleh Alfred Lord Tennyson (1809-1892) yang menggambarkan situasi yang serupa dengan situasi pada kira-kira tahun 400 M ketika para pendeta Nasrani dituntun oleh suara gaib dari Timur (atau Asia) menuju Roma dan mencoba menghentikan pertandingan gladiator di Colosseum, namun akhirnya mereka dilempari batu sampai meninggal oleh para penonton: Kaisar Honorius (berkuasa pada tahun 395-423) yang mendengar insiden tersebut kemudian melarang diadakannya pertandingan semacam itu lagi. Tennyson menulis:
Apakah debu-debu panas dari puncak-puncak berapi itu
Telah terlempar sangat tinggi hingga mencapai jarak yang begitu jauh dari bola bumi ini?
Hari demi hari, melalui begitu banyak malam yang semerah
darah,
. . . .,
Matahari terbenam yang sedang murka itu memancarkan cahaya yang menyilaukan . . .
. . . .,. . . .,
Bermandikan warna merah yang mengerikan - mengundang tanya Apakah itu bumi
Dalam nyala api menuju Barat? Ataukah itu Dewa Iblis
Yang sedang gusar atas keruntuhannya?”. . . .,
. . . .,
(Studi oleh penerjemah bahasa Inggris : Tennyson A. The Works of Alfred Lord Tennyson, MacMillan, London (1894). Dalam menyiapkan catatan ini, penerjemah bahasa Inggris memperoleh informasi dari Prof. Jeff Matthews (Italia), http://faculty.umuc.edu/~jmathew/ naples/blog18.htm, seperti halnya dari Mr. Allen McGill (Mexico)).
[43] Di kemudian hari, Anak Krakatau naik ke atas permukaan laut untuk kedua kalinya dan tahun 1941 mencapai ketinggian 132 meter di atas permukaan laut. Pada tahun 1960, Anak Krakatau meletus kembali. Pada tahun 1973, ketinggiannya mencapai 190 meter dan sekarang ketinggiannya sudah lebih dari 280 meter.
[44] Dr. W. M. van Leeuwen, Direktur Kebun Botani Buitenzorg.
[45] Dr. K.W. Dammerman, Kepala Museum dan Laboratorium Zoologi Buitenzorg.
[46] Dr. Ch. E. Stehn, Kepala Penelitian Volkanologi Bandoeng.
[47] Prof. Manabu Miyoshi, Em. Profesor dari Universitas Imperial Tokyo.
[48] Tepatnya, “planten-en Dieren-tuin”, terletak di Tjikini, Batavia (Cikini, Jakarta), sekarang di sebelahnya adalah Pusat Kebudayaan Taman Ismail Marzuki.
[49] Yang Mulia Jhr. Dr. A. C. D. de Graeff (menjabat 1926-30).
[50] Pertunjukan komedi pantomim tunggal yang dimainkan dalam ruang pertunjukan di Jepang.
[51] Sebuah karnaval tarian suku bangsa yang diselenggarakan pada hari Bon, hari besar umat Buda pada pertengahan Agustus, untuk menyambut arwah-arwah nenek moyang.
[52] Sebuah judul dari “Sepuluh Tari Balet Klasik Terbaru” yang diciptakan pada Era Meiji di Jepang.
[53] Wayang wong (wayang orang) berasal dari wayang koelit, di mana semua peran dimainkan oleh sejumlah aktor dan artis.
[54] Bugaku adalah tarian tradisional Jepang yang diiringi musik asli abad kedelapan, yang tetap dipertahankan di istana kaisar. Noh atau Nohgaku adalah sandiwara tradisional Jepang yang diciptakan pada abad ke tiga belas, dan tetap dipertahankan di kediaman para prajurit. Kabuki dari tulisan hiasan asli yang sama ketika dan setelah Era Edo (1600-1868) yang ada di masyarakat.
[55] Tiga huruf Cina diambil menurut bunyi ucapannya untuk mengeja Ke-la-pa (Soenda kelapa), namun digunakan untuk Djakatra bahkan setelah kota itu berganti nama (lihat catatan kaki 63). Tulisan Cina untuk Djakatra dan Batavia adalah
雅加達 dan 巴達維亞.
[56] Imo adalah kata umum dalam bahasa Jepang untuk umbi-umbi sayuran yang dapat dimakan. Kisah kedatangan kentang (Solanum tuberosum L.) di Jepang, dijelaskan dalam literatur bahwa’ “Kentang mulai dikenal di Era Tensho (1573-1592) atau Era Keicho (1596-1614), mungkin sekitar tahun 1598”, tidak begitu tepat. Walaupun kapal Belanda tiba di pulau Djawa untuk pertama kalinya pada tahun 1596, namun sebelum tahun1603 dan 1611 mereka telah membangun pusat-pusat perdagangan berturut-turut di Bantam dan Djakatra. Nama Djakatra kemudian tidak digunakan lagi setelah Jan Pieterszoon Coen mengembangkan pelabuhan dan mengganti menjadi Batavia pada tahun 1621. Setelah kapal De Liefde tiba di Jepang untuk pertama kalinya akibat terhempas ke tepi pantai di tahun 1621, kedatangan kapal-kapal Belanda selanjutnya terjadi pada tahun 1609, 1611, 1612, 1614, . . . , dan kantor mereka di Hirado dibuka tahun1609. Armada kedua, ketiga dan keempat yaitu Roode Leeuw met Pijlen menggunakan kapal Griffioen pada tahun 1609, Orangnie menggunakan kapal Black pada tahun 1611 dan Roode Leeuw met Pijlen menggunakan kapal Griffioen pada tahun 1612, secara berurutan diberangkatkan dari pelabuhan Johor, Patani dan Bantam (Kanai, Madoka, Modern Japan and Holland (sebuah buku pelajaran di Universitas Air), Universitas Air, Tokyo 1993). Melihat kegiatan orang-orang Belanda di pulau Djawa, kemungkinan kentang itu terbawa oleh mereka, atau kata Jagatara digunakan pada tahun 1614 oleh armada kelima yang datang dari Djakatra ketika kapal Zeelandia berlayar bersama-sama dengan kapal pesiar Jaccatra, atau pada tahun berikutnya. Kemungkinan lain kentang itu dibawa lebih dulu ke Jepang oleh bangsa Portugis dan kemudian mendapatkan nama yang populer, namun hal itu tidak dapat dipastikan. Sebenarnya, dapat dikatakan bahwa bangsa Portugis membawa kentang Nanking ke Nagasaki pada tahun 1576 dan menanamnya di herbarium yang ada di Gereja Todos Los Santos yang terletak di kota (Yoshimura K., dkk., Nagasaki Origins, Nagasaki-Bunken-Sha, Nagasaki, 1995). Bila seperti itu kejadiannya, pelabuhan asalnya mungkin bukan Djakatra melainkan Makao atau tempat lainnya, karena bangsa Portugis mendatangi tempat tersebut hanya antara tahun 1513-27 ketika kota Djakatra masih bernama Soenda Kelapa.
[57] Kata dalam bahasa Jepang kuno yang artinya sebuah surat dari Jagatara.
[58] 1633 Masehi
[59] Oharu (Jeronima Marino) lahir di Nagasaki pada tahun 1625. Ibunya orang Jepang dan ayahnya orang Italia. Di Batavia, ia menikah dengan Simon Simonsen, yang bekerja sebagai pegawai VOC dan kepala pelabuhan, dan dikaruniai tujuh orang anak. Oharu meninggal pada tahun 1697 pada usia 72 tahun.
[60] Kepala kantor perdagangan luar negeri. Kabitan, diambil dari kata Portugis yaitu capitaõ, pertama digunakan pada Era Portugis (1543-1639 di Jepang). Kata ini juga digunakan untuk para pedagang Belanda (pertama kali datang tahun 1600) karena kata dari bahasa Belanda yaitu opperhoofd tidak dipakai.
[61] Benih-benih tanaman yang diminta Oharu dalam suratnya (pada tahun 1642?) adalah : Matsu (cemara), Konotegashiwa (tanaman menjalar dari Cina, Thuja orientalis L.), Sugi (pohon cedar Jepang, Cryptomeria japonica) dan Hookigi (pohon belvedere, Kochia scoparia). Cerita ini ditulis dalam Nagasaki Night Tales (1719), sebuah esai yang ditulis oleh seorang ahli astronomi dan geografi yang bernama Nyoken Nishikawa. Namun kebenaran isi surat itu dibantah setelah penulisnya meninggal, karena komposisinya penuh dengan keindahan sastra klasik terlalu bagus untuk tulisan seorang gadis muda. Surat kedua yang ditulis oleh Oharu tahun 1697 dan diakhiri dengan kalimat “Oharu, Janda Simonsen” itu dipandang sebagai surat yang asli. Surat itu juga berisi sebuah daftar panjang tentang hadiah-hadiah berharga yang dikirimkan kepada keluarganya di Jepang.
[62] Berbeda dengan pendapat dahulu yang mengatakan bahwa penduduk di sana sangat menderita, peradaban Jepang diterima dengan baik di Batavia (Shiraishi, Hiroko, The Truth of Jagatara-Oharu, Bensei. Publ. Tokyo 2001). Di sana, Oharu dan teman-teman wanitanya menikahi pria Belanda yang kaya, karena pada saat itu pria Jepang hanya dipercaya sebagai pedagang dan tentara sewaan (Iwao, Seiichi, The Japanese Immigrants in Island South East Asia under the Dutch in the Sixteenth and Seventeenth Centuries, Iwanami-Shoten, Tokyo, 1987). Wanita lain yang terkenal adalah Cornelia, puteri Cornelis van Nijenrode (Kepala kantor perdagangan luar negeri di Hirado, 1623-33) dari istrinya yang asli orang Jepang. Cornelia menikahi pegawai VOC bernama Pieter Knol, dan lukisan keluarga mereka sampai saat ini masih tersimpan sebagai salah satu benda seni yang bernilai tinggi di Rijksmuseum (Amsterdam).
[63] Soenda Kelapa merupakan nama pelabuhan laut milik Kerajaan Hindu Padjadjaran yang berkuasa di Djawa Barat pada pertengahan abad ke empat belas. Pada tahun 1527 (atau mungkin tahun 1526) pelabuhan tersebut dirampas oleh pemimpin Islam, Fatahillah, yang kemudian menjadi Soeltan Bantam. (Berdasarkan keterangan pribadi dari seorang sejarawan di Djakarta yaitu Dr. Adolf Heuken SJ, jauh sebelum penulis datang ke Batavia memang sudah diketahui bahwa tahun 1526 atau 1527 adalah tahun dimana pelabuhan Soenda Kelapa dirampas oleh Fatahillah; sumber yang digunakan oleh penulis tidak diketahui). Djaja-Karta, lebih tepat diartikan sebagai “kota kemenangan” daripada “kota kebahagian dan kemakmuran”. Pada tahun 1621, kota itu berganti nama dengan nama yang diambil berdasarkan kata dari bahasa Latin yaitu Bataaf (Hollander = orang-orang Belanda) oleh Jan Pieterszoon Coen yang mengembangkan pelabuhan di sana. Nama terdahulu, Djakarta (sekarang disebut dengan Jakarta) kembali digunakan pada tahun 1942 saat pendudukan Jepang. Pada tahun yang sama, Buitenzorg juga diubah menjadi Bogor. Nama Jayakarta (ejaan baru) sekarang digunakan sebagai nama sebuah jalan dan stasiun kereta api di Jakarta Utara.
[64] Keterangan ini tidak benar. Sebenarnya, Sekolar Tinggi Hukum berlokasi di bagian barat dari Koningsplein, yang sekarang adalah Kantor Menteri Pertahanan. Sekolar Tinggi Teknologi yang didirikan di Bandoeng tahun 1920 sebagian besar pembangunannya merupakan sumbangan dari seorang pengusaha Perkebunan Teh bernama K.A. Bosscha.
[65] Dr. O. De Vries adalah seorang ahli ilmu kimia dan ilmu karet. Karangan ilmiahnya meliputi banyak hal. Salah satu judul bukunya dalam bahasa inggris adalah Estate Rubber yang meliputi Persiapan, Sifat, dan Pengujian (terbit tahun 1919). Beliau juga seorang Profesor ilmu kimia di Sekolar Tinggi Medis di Batavia.
[66] Sesuai undang-undang Pemerintah Taiwan yang diterbitkan pada April 1896, Gubernur Jenderal di bawah perintah dan kendali Menteri Bagian Kolonial Tokyo. Tindakan ini terus berlanjut sampai wilayahnya jatuh ke tangan bangsa Jepang setelah Perang Dunia Kedua.
[67] Menurut jadwal pada kongres adalah tanggal 17 Mei.
[68] Sekarang Stasiun Gambir yang terletak di bagian Timur Koningsplein (sekarang Medan Merdeka).
[69] Laboratorium dan Museum Zoologi.
[70] Tempat itu mungkin Museum dan Kantor Pemeriksaan Ekonomi Ilmu Tumbuh-tumbuhan atau Herbarium dan Museum Sistem Ilmu tumbuh-tumbuhan.
[71] Tidak dikenal oleh Penerjemah.
[72] “Air mendidih dalam ketel besar” adalah istilah metoda hukuman di neraka. Kutipan ini terdengar seperti judul dari rakugo (tradisi pembicaraan seseorang yang yang disampaikan secara lucu) tetapi hal ini bersifat umum.
[73] Kereta melalui jalur Selatan Djawa Barat dengan rute Buitenzorg - Soekaboemi - Bandoeng. Rute ini merupakan alternatif lain menuju Bandoeng disamping rute Batavia - Tjikampek - Bandoeng.
[74] Sebuah hotel bergengsi di Bandoeng yang dibangun tahun 1897 dan hotel ini masih ada sampai saat ini. Bangunan bergaya F. L Wright (arsitek Amerika, 1867 - 1959) yang sangat terkenal ini terletak di Groote Pos Weg (sekarang Jalan Asia-Afrika) dirancang oleh Prof. C. P. Wolff Schoemaker dan dibangun tahun 1930. Menurut anggota keluarganya, Soekarno (1901-1970), siswa Prof. Schoemaker di Sekolah Tinggi Teknologi Bandoeng, yang kemudian menjadi presiden pertama Indonesia, juga ikut serta dalam proyek pembuatan bangunan tersebut sebagai arsitek. Beliau memberikan banyak ide untuk memperkenalkan metode konstruksi baru.
[75] Sekolah Tinggi Teknologi Bandoeng (baca Catatan kaki 64).
[76] Dr. Kunitaro Niomi, Institut Geologi, South Manchuria Railway Co., Dairen.
[77] Sekarang Bandar Udara Husein Sastranegara.
[78] KNILM (Koninklijke Nederland-Indische Luchtvaart Maatschappij N. V.), yang dibentuk sebelum tahun 1928 (delapan tahun setelah KLM).
[79] Peristiwa yang sama seperti pengamatan Brockengespenst sebelum munculnya pesawat udara di beberapa pegunungan, viz. Harz, Jerman.
[80] Ratoe (Ratu) adalah kata yang digunakan untuk seorang pemimpin perempuan sebuah kerajaan sama seperti raja. Oepas (upas) artinya pohon beracun tetapi sama artinya dengan pesuruh; penjaga; polisi. Orang-orang tua dulu di Bandoeng mengatakan bahwa mereka lebih menyukai arti dari Kawah Oepas adalah “Penjaga kawah” daripada “kawah beracun”.
[81] Prof. Shonen Matsumura, ahli ilmu serangga, Universitas Imperial Hokkaido.
[82] Asisten Prof. Akira Matsumura, ahli ilmu antropologi, Universitas Imperial Tokyo.
[83] Terjadi kesalahan pencetakan nama pada teks. Orang itu mungkin bernama asli Dr. Keinosuke Ihara, ahli geologi, Imperial Geological Survey, Tokyo.
[84] Asa-Gao (morning glory) dalam teks bahasa Jepang mungkin salah cetak dengan Hiru-Gao (bindweed, Convolvulus arvensis) sejenis tanaman gulma.
[85] Dr. Hatai pergi ke Amerika untuk sekolah ilmu biologi. Beliau menghabiskan waktunya lebih dari duapuluh tahun sampai akhirnya ia melepaskan jabatan Profesor di Universitas Pennsylvania. Pada tahun 1922 beliau pindah ke Universitas Imperial Tohoku (Aramata, Hiroshi, Episodes of Science in Great East-Asia, Chikuma-Shobo, Tokyo 1996).
[86] Prof. F. A. F. C. Went, Universitas Utrecht; Presiden, Bagian Ilmu Pengetahuan, Royal Academy of Sciences, Amsterdam.
[87] Societeit Concordia dibangun tahun 1879 oleh arsitek asal Belanda, Van G. Last dan C. P. W. Schoemaker. Kemudian bangunan ini berganti nama menjadi Gedoeng Merdeka dan merupakan tempat berlangsungnya Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1955. Bangunan ini terletak di jalan Asia-Afrika yang dulu bernama Groote Pos Weg.
[88] Pakaian tradisional resmi orang Jepang yang digunakan dalam acara keluarga untuk mengucapkan selamat atas hasil kerja seseorang.
[89] Kenyataannya mereka adalah orang-orang Soenda. Sangat membingungkan untuk orang asing bahwa pulau Djawa Bagian Barat dipilih sebagai Negeri Soenda (Sunda) dengan keanekaragaman suku bangsa.
[90] Penulis menggunakan kata, Ojo san (wanita muda) yang berperilaku sopan dan bersahabat.
[91] Mungkin itu sebuah ungkapan dari puisi bahasa Cina yang tidak dikenal, atau tulisan penulis sendiri.
[92] Haori adalah jaket tradisional. Shirushi-banten adalah jaket tradisional sederhana yang dipajang di toko atau serikat pekerja yang digunakan oleh para pekerjanya.
[93] Sebuah zone bercahaya merah yang sangat terkenal di Tokyo dari Era Edo sampai tahun 1950-an.
[94] Jaman dulu, bambu digunakan sebagai konstruksi material dalam jumlah besar. Di desa, bambu digunakan untuk membuat jembatan. Pada saat penobatan Ratu Wilhelmina tahun 1890, mereka membuat model bangunan Menara Eiffel yang 1/10-nya terbuat dari bambu yang khusus didatangkan dari Tasikmalaya (Djawa Barat) (Njis, E. Breton de, Tempo Doeloe - Fotografische Documenten uit het OudeIndie 1870-1914, Amsterdam E. M. Querido’s Eitgerbers M. J. 1961).
[95] “Pegunungan ungu dan air yang bersih” adalah idiom Jepang. “Biru” mungkin lebih baik diterima di luar Jepang untuk mengekspresikan warna sebuah gunung.
[96] Angkloeng sudah modern dan namanya sudah dikenal diseluruh dunia, dikatakan tradisional karena hanya memiliki empat nada. Konon, angkloeng biasa digunakan oleh penduduk zaman dulu, keturunan dari Kalang (setan liar) tidak bisa mati di pulau Djawa sampai pada periode Hindu (Campbell, D. M., Java: Past and Present, Vol. I, William Heinemann, London 1915).
[97] Orang-orang Soenda menamainya pohon banyan (Ficus bengalensis), sekarang dieja dengan “caringin”. Di Djawa bernama “waringin” atau “beringin” merupakan nama modern di Indonesia (menurut Dra. Ms. Yuzammi, MSc, Kebun Raya Bogor). Secara tradisional, daerah itu (Djawa Barat) adalah wilayah Soenda.
[98] Sebuah perahu dibuat dengan melubangi batang pohon.
[99] Orang barat merasa terganggu dengan suara-suara serangga, namun orang Jepang menyukai suara dari beberapa jenis jangkrik.
[100] Ketika Rapat Anggota Terakhir berlangsung, seorang wakil dari Kanada, negara yang terletak di pantai Timur Pasifik mengatakan bahwa, “Kipling (1865-1936) dengan jelas tidak pernah memimpikan apapun dari terbentuknya Asosiasi Ilmu Pengetahuan Pasifik (the Pacific Science Association) ketika ia berkata bahwa: “Timur adalah Timur dan Barat adalah Barat, dan keduanya tidak akan pernah bertemu”. Ungkapan yang sama juga dikutip oleh Gubernur Jenderal dalam pidato pada acara inagurasi. (The proceedings of Fourth Pacific Science Congress Batavia-Bandoeng (Java) 1929, Vol. I).
[101] 3.019 m
[102] Keluarga Owari-Tokugawa memiliki tanah-tanah di daerah pegunungan di Hokkaido dan Kiso (di Jepang Tengah)
[103] Pohon-pohon itu sekarang sudah tidak terlihat lagi!
[104] Terletak di ujung Miura Peninsula di Propinsi Kanagawa.
[105] Dr. Jiri Baum dari Departemen Entomologi Museum Nasional, Praha, Czechoslovakia. Penulis menuliskan namanya dengan Baum-kun dengan akhiran yang digunakan di Jepang untuk memanggil nama seorang laki-laki yang derajatnya sama atau lebih rendah secara lebih dekat dan lebih bersahabat
[106] Bahasa Soenda, yang artinya air yang tenang
[107] Dr. J. G. B. Beume, Kepala Herbarium Botani Sistematis (Herbarium of Systematic Botany) Buitenzorg.
[108] Mr. L. Tao dari The China Society of Arts and Science (Masyarakat Seni dan Ilmu Pengetahuan Cina), Shanghai.
[109] Raflesia arnoldi, dinamakan demikian setelah Stamford Raffles dan Dr. Joseph Arnold bersama-sama menemukan tanaman tersebut pada tahun 1818 di Bengkulu (Sumatra). Stamford Raffles yang memerintah di pulau Djawa selama Pendudukan Inggris (1811-16) menetap di Bengkulu (Sumatra) sampai ia mendapat pulau Singapura dari Raja Johor dan pindah ke sana pada tahun 1919.
[110] Sejenis kembang gula manis di Jepang mirip dengan jajanan di Inggris, yang ciri khasnya berbentuk bunga. Nama tersebut diambil dari ‘alfeloa’ yang tiba dari Portugal pada abad keenam belas.
[111] Dilihat dari ketinggiannya, Bunga Bangkai (Amorphophallus titanum) yang asli dari Sumatra lebih besar, tumbuh mencapai ketinggian lebih dari dua meter dengan lebar 50 cm. Nama yang kurang bagus ini (bunga bangkai) diberikan karena bunga ini mengeluarkan bau yang sangat tidak enak menyerupai bau bangkai. Tanaman ini ditanam di Kebun Botani Bogor, Djawa Barat dan berbunga setiap 3 atau 4 tahun sekali. Dikatakan juga bahwa raflesia juga tumbuh di Kebun Botani itu pada saat penjajahan Belanda namun usaha pembibitannya tidak berhasil.
[112] Wayang kulit (Lihat halaman 253)
[113] Di Hindia Timur Belanda, persamaan status dengan orang Eropa diberikan kepada penduduk Jepang yang tinggal di kepulauan sejak tahun 1899. Sedangkan para imigran Jepang di Amerika menderita karena adanya Alien Land Law (California, 1913) dan para imigran yang baru mendapat larangan dengan adanya Japanese Exclusion Law (1924) (Vlekke, Bernard H. M., The Story of the Dutch East Indies, Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts 1945, dan referensi lainnya).
[114] Sebuah karakter dalam drama Kabuki, Kanadehon-Chushingura, sebuah ceritera tentang balas dendam orang-orang yang setia pada pemerintah. Seorang pedagang, Gihei Amagawaya diminta oleh pengikut pemerintah untuk mengumpulkan senjata. Ketika seorang pengikut pemerintah yang menyamar menjadi musuh datang dan menginterogasi Gihei tentang persekongkolan tersebut, untuk menguji kesetiaannya, Gihei duduk bersila dengan sikap terhormat sambil memegang dadanya dimana ia menyembunyikan senjata. Ia menolak untuk mengakuinya, dan berkata “Saya seorang laki-laki. (Bagaimana mungkin saya mengatakannya pada anda.)”.
[115] Hotel ini masih berdiri dengan nama Hotel Garuda dan terletak di Jalan Malioboro No. 60.
[116] Semua makanan itu adalah makanan khas orang Jepang, sushi; bola-bola nasi yang masam dengan ikan mentah, soba dan udon; mi, tsukemono; asinan dan chadzuke; nasi masak yang dicelup ke dalam teh dengan bumbu-bumbu yang lain.
[117] Di Hindia Timur Belanda, Soeltan di Jogjakarta dan Soesoehoenan di Solo (Soerakarta) memiliki pemerintahan semi-otonami sehingga mereka memiliki para menteri sendiri. Setelah Indonesia Merdeka, Jogjakarta mendapatkan status Daerah Istimewa, namun Solo digabungkan ke dalam Jawa Tengah karena Solo berpihak kepada Belanda ketika berlangsungnya “Perang Kemerdekaan (17 Agustus 1945 – 27 Desember 1949)”.
[118] Sebuah pedang pendek dengan bilah berombak yang digunakan di pulau djawa dan daerah sekitarnya.
[119] “Hattori-san” di teks bahasa Jepang. Akhiran san digunakan panggilan terhadap laki-laki maupun perempuan yang berkesan informal dan lebih bersahabat dibandingkan tuan dan nyonya.
[120] Sebuah tempat pemandian air panas di Propinsi Kanagawa di sebelah Timur Gunung Fuji.
[121] Diambil dari bahasa Sansekerta yaitu Yama yang artinya raja neraka.
[122] “Kuda tunggangan yang pendek” ditulis dengan huruf Cina,
下駄馬, juga dapat dibaca sebagai “kuda bakiak”, seekor kuda yang mudah dinaiki seperti halnya kita memakai bakiak.
[123] Tengger (orang Tengger) adalah suku bangsa setempat. Mereka menolak pengaruh asing dan menganut Buda Mahayana, suatu campuran antara agama Buda dan Hindu, sejak jaman Majapahit (abad ke-14 sampai ke-15) sampai sekarang.
[124] Seorang pahlawan dari sebuah novel yang terkenal, “Don Quixote” yang ditulis oleh Miguel de Cervantes pada tahun 1605-1615. Novel tersebut menceriterakan Don Quixote memiliki khayalan untuk menjadi seorang ksatria dan melakukan perjalanan dengan menunggang seekor keledai untuk berpetualang.
[125] 2.392 m.
[126] 2.440 m.
[127] Simpangsche Sociëteit. Gedung ini dibangun tahun 1907 dan pada tahun 1945 berganti nama menjadi Balai Pemuda, sampai saat ini masih berdiri dan sekarang digunakan sebagai gedung bioskop dan tempat pameran.
[128] Teks pidato Tokugawa yang lengkap adalah sebagai berikut :
“Bapak Presiden, hadirin yang terhormat!
Setelah pertemuan kongres di Bandoeng yang begitu sukses dan tidak seperti biasanya, kami sangat menikmati karyawisata di negeri yang sangat bagus di pulau Djawa ini. Sebagai perwakilan delegasi dari Jepang, ijinkanlah saya menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada Bapak Presiden dan Sekretaris Jenderal, juga kepada para anggota panitia, atas semua persiapan yang begitu baik dalam Kongres ini.
Kami juga berhutang budi kepada para pemandu karyawisata kami yang sangat kami hargai, yang tidak hanya bersusah payah membuat buku panduan yang benar dan terperinci, tetapi juga mengantarkan kami untuk melihat-lihat daerahnya masing-masing. Saya harap mereka dapat menerima rasa terima kasih dari dalam hati kami ini.
Terima kasih juga saya ucapkan kepada Gubernur Djawa Timur, Walikota dan Panitia Daerah di Soerabaja yang telah berusaha memberikan pelayanan yang memuaskan.
Tidak ada kata-kata yang tepat untuk melukiskan perasaan kami di sini di acara makan malam perpisahan ini. Untuk merayakan kesuksesan yang hebat dari Kongres Pasifik yang keempat ini, mari kita berdiri dan berteriak ‘Banzai’ tiga kali.
Hadirin yang terhormat, saya harap, anda sekalian akan mendukung dan bergabung bersama kami”.
(Seperti yang tertulis pada teks asli di Proceedings of The Fourth Pacific Science Congress 1929, Vol. I.)
[129] Ada beberapa teori yang lain. Kemungkinan nama itu berasal dari Negoro Suroboyo (Tempat para pemenang yang lelah), sebuah nama yang diberikan oleh kaum Muslim setelah kemenangan mereka melawan Majapahit, atau Suro-ing-Boyo (Berani menghadapi bahaya) yang diberikan pada benteng VOC, atau Segura Baia (Pelabuhan yang aman) yang diambil dari bahasa Portugis (A. Nagazumi Historical Walk of South-East Asia (1986), Tokyo Univ. Press).
[130] Huruf Cina yang berarti “sungai untuk menghanyutkan”.
[131] Lebih baik disebut “Kerajaan Hindu yang didirikan oleh umat Hindu”, sebab agama Buda telah disatukan ke dalam agama Hindu di pulau Djawa sebelum Islam tersebar pada abad ke-15.
[132] Kerajaan Mataram (Mataram baru atau Mataram Islam) didirikan tahun 1578. Setelah serangkaian peperangan terjadi di antara keluarga kerajaan pada abad ke-18, Hamengkoe Boeono I memperoleh setengah dari kerajaan dan menjadi Soeltan Jogjakarta pada tahun 1755, berdasarkan Perjanjian Gianti yang ditentukan oleh VOC.
[133] Mr. Ogawa pada awalnya adalah seorang pelukis. Setelah lulus dari Meiji Art School (Sekolah Kesenian Meiji), ia pergi naik kapal tahun 1899 dan berambisi untuk pergi ke Paris. Lalu ia berhenti di Singapura untuk mendapatkan biaya agar dapat belajar di Perancis. Setelah mengajar melukis dan melukis potret untuk orang asing selama tiga tahun di Singapura, ia pindah ke pulau Djawa mengikuti saran dari seorang kapten dari K. P. M., dan melanjutkan pekerjaan yang sama. Tahun 1905, ia memutuskan untuk mengubah jalan hidupnya dan merintis perdagangan produk-produk Jepang dengan menginvestasikan uang tabungannya yang jumlahnya telah cukup untuk biaya belajarnya ke Perancis. (Takeda, S. (ed.), Jagatara Episodes - The footmarks of Japanese in the Dutch East Indies, Tsurukawa-Insatsusho, Nagasaki 1968/ Yoshiya, Nobuko, The Dutch East Indies which I saw recently, Shufunotomo-sha, Tokyo 1941).
[134] Lihat, Catatan kaki 54.
[135] Sejenis kain buatan pabrik asli Perancis yang digunakan sebagai hiasan permadani.
[136] Seni bela diri tradisional di Jepang, meliputi penggunaan busur dan anak panahnya, pedang, tombak, dan lain lain
[137] Sebuah baris dari puisi panjang berjudul “Syair Kesedihan yang Tak Berujung (Song of Everlasting Sorrow)” yang ditulis oleh Po Chui (772-846) yang menceritakan tentang nasib Kaisar terakhir dari Dinasti Tang yaitu Hsuan Tsung (685-762).
[138] Kain kepala batik (dalam bahasa Jawa disebut blangkon). Dodot adalah kain penutup yang besar dililitkan untuk menutupi badan, ukurannya sekitar 4m x 2m, dan hanya digunakan oleh anggota keluarga kerajaan yang tingkatannya paling tinggi.
[139] Tatami adalah tikar tradisional Jepang yang berbentuk persegi panjang dengan ukuran standar 181,8cm x 90,9cm.
[140] Menurut literatur, Pemerintahan Paduka Yang Mulia (The reign of His Majesty)”, lagu kebangsaan Jepang.
[141] Bagian Kedua di terjemahan ini.
[142] Penulis melanjutkan perjalanannya ke pulau Borneo, Celebes dan Malaya.